Senin, 19 Januari 2009

negara

Jumat, April 25

Bentuk Negara: Suatu Tinjauan Umum

Pembahasan bentuk negara merupakan pembahasan tentang; dalam bentuk apa organisasi itu menjelma dalam masyarakat. Pembahasannya dalam tulisan ini terbagi dalam tiga segi peninjauan, yaitu pembagian bentuk negara menurut Arsitoteles, pembagian dua bentuk negara menurut Machiavelli, serta menurut Strong.

Secara tradisional ada tiga bentuk negara, yaitu monarki, aristokrasi, dan politea yang telah dikemukakan oleh Arisototeles. Teori yang dikemukakannya juga disebut sebagai teori revolusi bentuk negara dan banyak diikuti oleh beberapa sarjana pada saat itu, antara lain Polybios. Selanjutnya Machiavelli mengemukakan dua macam bentuk negara, yaitu monarki dan republik. Terhadap teori Machiavelli ini beberapa sarjana mengemukakan kriteria-kriteria tertentu terhadap bentuk negara monarki dan republik.

Para sarjana kemudian mengadakan pembahasan masalah bentuk negara berdasar bentuk negara yang sebenarnya. Pembahasan terbagi dalam tiga sudut peninjauan, yaitu teori yang mengutamakan bentuk pemerintahan dari bentuk negara. Jadi pembahasan sudah bergeser pada masalah bentuk pemerintahan yang merupakan segi struktur atau isi dari suatu organisasi negara. Sedangkan masalah bentuk negara merupakan peninjauan segi sosiologis, yaitu melihat negara sebagai suatu kebulatan (ganzhei). Peninjauan yang kedua menyatakan bahwa bentuk negara adalah demokrasi dan diktatur. Sedangkan yang terakhir adalah teori yang mengemukakan lima kriteria untuk bentuk negara oleh Strong.


Menurut Aristoteles

Aristoteles membagi bentuk negara berdasarkan teori kuantitas, yaitu bentuk negara yang berdasarkan jumlah orang yang memerintah, serta teori kualitas yang berdasarkan kualitas orang yang memerintah.

Berdasarkan teori kuantitasnya, Arsitoteles membagi bentuk negara menjadi 3, yaitu monarki/kerajaan, aristokrasi, politea. Monarki / kerajaan adalah sebuah pemerintahan oleh satu orang untuk kepentingan rakyatnya. Menurut Aristotele, bentuk pemorosotan dari pemerintahan ini adalah tirani atau diktator.

Aristokrasi adalah pemerintahan oleh beberapa orang untuk kepentingan umum. Misalnya ahli-ahli filsafat, cendikiawan, serta para bangsawan. Bentuk pemerosotan dari pemerintahan ini adalah oligarki yang mendasarkan kepada golongan sendiri, serta pluktorasi di mana pemimpinnya memerintah hanya untuk kepentingan orang-orang kaya. Namun, Plato mempunyai pandangan berbeda dengan Aristoteles tentang aristokrasi. Menurutnya, aristokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum cendikiawan yang dilaksanakan sesuai dengan pikiran keadilan.

Politea adalah suatu pemerintahan oleh seluruh orang untuk kepentingan seluruh rakyat. Bentuk pemerosotannya adalah demokrasi di mana orang-orang yang memerintah tidak memerintah tidak tahu sama sekali tentang pemerintahan.

Teori yang dikemukan oleh Arsitoteles tersebut disanggah oleh Polybios. Menurutnya, bentuk negara ideal yang ketiga bukan politea, melainkan demokrasi. Di mana bentuk pemerosotonnya adalah oklokrasi / mobokrasi yang pada akhirnya menuju anarki yakni suatu kondisi di mana pemerintahannya kacau balau.

Menurutnya lagi, pada bentuk monarki apabila keturunan para penguasa telah melaksanakan tugas dengan sewenang-wenang dan mementingkan kepentingan sendiri, maka saat itu monarki telah bergeser menjadi oligarki. Demokrasi yang kacau akan berubah menjadi oklokras. Jika pemimpinnya dapat memerintah dengan baik serta mementingkan nasib rakyat, maka bentuk oklokrasi akan kembali pada bentuk awal yaitu negara monarki.


Teori Dua Bentuk Negara Menurut Machiavelli

Menurut Machiavelli, bentuk negara hanya ada dua, yaitu republik (respublica) dan monarki (principati). Negara dalam hal ini merupakan hal yang pokok (genus) dan spesiesnya adalah republic dan monarki. Para sarjana kemudian menentukan ukuran tertentu untuk menentukan bentuk negara monarki dan republik.

Georg Jellinek mengatakan bahwa ukuran untuk menentukan bentuk negara monarki dan republic berdasar pada terjadinya kehendak negara (staatswill). Dalam perkembangannya, teori Jellinek sulit diterapkan. Karena pada jaman modern penentuan staatswill pada bentuk monarki tidak lagi ditentukan oleh satu orang.

Leon Duguit menggunakan ukuran cara pengangkatan kepala negara untuk membedakan bentuk negara monarki dan republik. Apabila kepala negara diangkat secara turun-temurun maka bentuk negara adalah monarki. Sedangkan apabila kepala negara diangkat dengan cara dipilih maka bentuk negara adalah republik.

Otto Koellrenter yang menggunakan ukuran berdasar atas kesamaan dan ketidaksamaan untuk membedakan bentuk negara monarki dan republik. Asas kesamaan adalah setiap warga mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara setelah memenuhi beberapa persyaratan. Sedangkan asas ketidaksaman artinya tidak setiap warga mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara, karena hanya berdasar garis keturunan tertentu.

Kriteria untuk menentukan bentuk negara sebenarnya tidak terlepas dari keadaan sekitarnya dan berdasar pada masa tertentu sehingga bersifat historis. Pada saat ini timbul beberapa pendapat yang tidak lagi berpegang pada bentuk-bentuk negara berdasar sejarah, tetapi berdasar pada bentuk negara yang sebenarnya yaitu melihat pada struktur atau isinya.


Bentuk Negara Menurut Strong

C.F. Strong mencoba memecahkan persoalan bentuk negara berdasarkan pada 5 kriteria. Pertama, dengan cara melihat bagaimana bangunan negaranya, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri (i) negara kesatuan yang tidak terdiri dari negara-negara bagian dan (ii) negara serikat yang terdiri dari negara-negara bagian.

Pembedaan negara kesatuan dan negara serikat mempengaruhi organisasinya. Pada negara serikat, masih ada pembedaan dalam menentukan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah negara bagian. Namun, ada 2 cara penentuannya, yaitu (i) merumuskan dengan tegas wewenang negara bagian, selebihnya wewenang pemerintah pusat atau (ii) merumuskan dengan tegas wewenang pemerintah pusat, selebihnya wewenang pemerintah negara bagian.

Pada cara yang pertama, menurut Strong, negara serikat masih mendekati negara kesatuan (negara federal yang kurang murni), yaitu negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Di mana wewenang daerah swatantra sudah dirumuskan dengan tegas dan selebihnya termasuk wewenang pemerintah pusat.

Kedua, dengan cara melihat bagaimana konstitusinya, apakah konsititusi itu diletakkan dalam suatu naskah tertentu atau tidak (tertulis atau tidak). Ada beberapa keuntungan konstitusi tertulis, yaitu (i) organisasi negara itu dapat terjamin, dalam arti tidak berubah sewaktu-waktu jadi tidak tunduk pada kehendak orang tertentu dan (ii) adanya pedoman tertentu untuk perkembangan lebih lanjut. Misalnya pada suatu pasal atau bab, sehingga pekembangannya bisa dikembalikan pada norma tertentu. Namun ada pula beberapa kelemahan tidak adanya naskah (konstitusi tidak tertulis). Misalnya dalam menentukan siapa yang berwenang menentukan bahwa kebiasaan yang baru dalam masyarakat yang merupakan hukum yang baru. Karena tidak adanya naskah tertentu, bagaimana kita dapat mengetahui adanya keadaan baru yang bertentangan dengan naskah itu. Di Inggris, hal ini dipecahkan dengan memberi wewenang kepada parlemen yang disebut Omnipotence, yaitu wewenang tertinggi di segala hal pada parlemen.

Ketiga, mengenai badan perwakilannya, bagaimana disusunnya, siapa yang berhak memegang kekuasaan itu. Keempat, mengenai badan eksekutif, apakah ia bertanggung jawab kepada parlemen atau tidak atau disebutkan badan eksekutif yang sudah pasti jangka waktu kekuasaannya. Kelima, bagaimana hukum yang berlaku.

Daftar Rujukan

Carter, M. dan John H. Herz. Government and Politic in the Twentieth Century. New York: Praegen, 1973.

Kusnardi, Moh. dan Bintan Saragih. Ilmu Negara. Cet.1. Jakarta : Perintis Press, 1985.

Kusnardi, Moh. dan Bintan Saragih. Ilmu Negara. Cet.3. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1994.

Kusnardi, Moh, SH. dan Prof.Dr.Bintan Saragih. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000.

Strong, C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Bandung: Nuansa, 2004

Wahjono, Padmo, SH. Kuliah-Kuliah Ilmu Negara. Cet.1 Jakarta : Ind-Hill.Co, 1966.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar