Selasa, 23 Juni 2009

POLITIK IDEOLOGI



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Menurut pendekatan struktural konflik, kelas yang memiliki sarana produksi materiil dengan sendirinya memiliki sarana produksi mental, seperti gagasan, budaya dan hukum. Gagasan kelas yang berkuasa di manapun dan kapanpun merupakan gagasan yang dominan. Gagasan, budaya, hukum dan sebagainya sadar atau tidak merupakan pembenaran atas kepentingan materiil pihak yang memiliki gagasan yang dominan. Sistem pembenaran ini disebut ideologi.
Dalam bahasa Indonesia, ideologi sering disebut sebagai “dasar negara” atau “falsafah negara”, di Malaysia disebut “rukun negara”. Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo. Tetapi ideologi juga bisa digunakan oleh pihak lainnya (pihak pemberontak, pihak oposisi atau pihak reformasi) guna menyalahkan pemerintahan, menyerang kebijakan pemerintah sampai kepada mengubah status quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negaranya dengan menggunakan dalih ”hak ketuhanan raja” atau ”kehendak sejarah”, tetapi pihak lainnya bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar pada prinsip ”hak-hak dasar” atau ”kehendak yang kuasa”.
Ideologi yang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk mensahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja. Ideologi dalam arti fungsional dapat digambarkan secara singkat dengan contoh berikut. Di Amerika Serikat, menjamin keamanan nasional berarti peningkatan produksi persenjataan yang bermakna pula menguntungkan industri-industri senjata. Peningkatan pertumbuhan pertanian berarti peningkatan produksi pupuk dan bahan kimia yang lain, yang berarti menguntungkan industri-industri pupuk dan bahan kimia.
Demi stabilitas nasional di negara-negara berkembang acap kali berarti mengurangi kebebasan politik warga negara. Ideologi dalam arti fungsional digolongkan secara tipologi dengan dua tipe, yakni ideologi yang doktriner dan ideologi yang pragmatis.
Suatu ideologi dapat digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Biasanya sistem nilai atau ideologi yang diperkenankan hidup dalam masyarakat seperti ini hanyalah ideologi yang doktriner tersebut.
Akan tetapi, apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsip-prinsipnya saja) maka ideologi tersebut digolongkan sebagai ideologi pragmatis. Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Atas dasar itu, pelaksanaannya tidak diawasi oleh aparat partai atau pemerintah, melainkan dengan pengaturan kelembagaan. Maksudnya, siapa saja yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tidak akan hidup secara wajar.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ideologi
Definisi memang penting. Itu sebabnya Ibnu Sina pernah berkomentar “ Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep”. Karena itu menurut beliau, sama pentingnya dengan silogisme (logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat.
Mabda’ secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang )dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, Al-Mabda’(ideologi) : pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika al-mabda’ adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan [lihat catatan tepi kitab Ususun Nahdhah ar-Rasyidah, hal 36]
Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi =
Wikipedia Indonesia : Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah ‘aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.
Destertt de Tracy : Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu. Descartes : Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia. Machiavelli : Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Thomas H : Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya. Bacon : Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Karl Marx : Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Napoleon : Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya.
Muhammad Muhammad Ismail : Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya?
Dr. Hafidh Shaleh : Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia. Taqiyuddin An-Nabhani : Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Sehingga dalam Konteks definisi ideologi inilah tanpa memandang sumber dari konsepsi Ideologi, maka Islam adalah agama yang mempunyai kualifikasi sebagai Ideologi dengan padanan dari arti kata Mabda’ dalam konteks bahasa arab.
Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga ideologi (mabda’). Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Untuk saat ini dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, saat ini tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.
Sumber konsepsi ideologi kapitalisme dan Sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT (hukum syara’).
Ibnu Sina mengemukakan masalah tentang ideologi dalam Kitab-nya “Najat”, dia berkata:
“Nabi dan penjelas hukum Tuhan serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi kesinambungan ras manusia, dan bagi pencapaian manusia akan kesempurnaan eksistensi manusiawinya, ketimbang tumbuhnya alis mata, lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang paling banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu sekali.”

B. Perbandingan Ideologi Dunia
Untuk membandingkan Ideologi Dunia maka kami sebagai pembuat makalah akan membuatkan table sebagai dasar perbandingan ideology-ideologi dunia:



C. Ideologi Politik Indonesia
Ideologi politik adalah kumpulan ide, gagasan dan visi secara komprehensif tentang proses pembentukan, pembagian, pengelolaan dan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat, khususnya negara. Merujuk gagasan dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, setidaknya terdapat tiga ideologi politik yang mendominasi masyarakat Indonesia, yaitu Nasionalis, Islam dan Marxis.
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara. Pada abad ke-18 kata “nation” menjadi lebih luas artinya setelah Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai “assemblee nationale” yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kelas elite dalam berpolitik. Ideologi nasionalis adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Religius telah menjadi ciri tersendiri bagi Indonesia. Sejak awal sejarah perkembangan bangsa Indonesia, masyarakat Indonesia sudah menganut politeisme. Politeisme secara harfiah berasal dari bahasa Yunani poly dan theoi yang berarti banyak tuhan. Politeisme sebagai sebuah bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan merupakan penjelasan bagi kegandrungan banyak masyarakat Indonesia hingga saat ini terhadap hal-hal yang berbau klenik, mistis dan ghaib. Pada perjalanan sejarah selanjutnya Islam menjadi agama terbesar yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah agama yang memiliki konsep holistik, maka pembicaraan tentang pandangan hidup masyarakat Indonesia tidak dapat lepas dari ideologi Islam.
Marxisme adalah filosofi politik dan praktek yang berasal dari karya Karl Marx dan Friedrich Engels. Menurut ideologi tersebut perubahan sosial menuju masyarakat tanpa kelas diawali dengan kesadaran dan perjuangan kaum proletar yang selalu teraniaya oleh kaum borjuis. Sebagai bangsa yang sebelum era kemerdekaan senantiasa mengalami penindasan dari kekualatan imperialis kapitalis Belanda, maka marxisme menjadi inspirasi bagi sebagian pemuda Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Upaya untuk mengunifikasi ideologi Nasionalis, Islam dan Marxisme terekam pada tulisan Soekarno dalam Suluh Indonesia Muda di tahun 1926 dengan merasionalisasikan bahwa Nasionalisme, Islam dan Marxisme memiliki kepentingan yang sama yaitu melawan kapitalisme dan imperialisme Barat. Sebelumnya, Tan Malaka berbicara agar Komunisme (sebagai manifestasi pemikiran Marx oleh Lenin) tidak memusuhi pan-Islamisme, karena adanya kesamaan visi dalam melakukan perlawanan terhadap kapitalis. Ucapan seorang Marxist Indonesia tersebut disampaikan pada Kongres Keempat Komunis Internasional (Comintern) pada 12 November 1922.
Kiranya sumpah pemuda 1928 menjadi bukti sekat-sekat ideologi mampu dikesampingkan demi sebuah agenda besar yaitu kemerdekaan Indonesia. Kemudian dalam kehidupan politik paska proklamasi kemerdekaan Indonesia ideologi besar tersebut termanifestasikan dalam partai politik. Pada pemilu 1955 beberapa partai bahkan mendapatkan suara cukup signifikan yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai representasi kalangan Nasionalis, Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai representasi kalangan Islam, serta Partai Komunis Indonesia sebagai representasi kalangan Marxis. 79 persen dari 38 juta pemilih Indonesia menyalurkan kepada empat partai tersebut dengan rincian PNI 22,32%, Masyumi 20,92%, NU 18,41% dan PKI 16,36%.
Tragedi pembunuhan Jendral Angkatan Darat di Jakarta pada tahun 1965 sebagai buntut dari pergolakan politik, menyeret Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai tersanga utama. Friksi (gesekan) dan krisis kebangsaan semakin tak terhindarkan. Melalui mandat surat perintah 11 maret (supersemar), Soeharto melakukan pembubaran PKI dan organisasi masyarakat (ormas) dibawahnya. Tidak cukup sampai disitu ditingkat akar rumput terjadi pembantaian massal terhadap pendukung PKI seperti yang dilukiskan oleh Hermawan Sulistyo dalam buku Palu Arit di Ladang Tebu. Banyak juga yang ditahan tanpa proses pengadilan atau dibuang ke pulau Nusa Kambangan seperti Pramoedya Ananta Toer. Ideologi Marxis, Lenin beserta PKI diharamkan di Indonesia melalui ketetapan MPRS nomor 25/MPRS/1966. Walaupun masih banyak kajian dengan penggunaan teori Karl Marx, tapi dapat dipastikan bahwa partai politik tidak ada lagi yang berlandaskan ideologi Marxis.
Dibawah koordinasi ABRI untuk menandingi dominasi PKI, dibentuklah Golongan Karya (GOLKAR) dari organisasi fungsional yang tidak berafiliasi kepada partai. Pemilu 1971 di luar dugaan, GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 62,79 % dari total perolehan suara. Mungkin karena selang pemilu yang terlalu jauh atau pengkaderan yang mandeg sehingga PNI memperoleh penurunan suara yang sangat jauh sedangkan Masyumi tidak menjadi peserta. Sementara suara NU meningkat lebih dari 2 juta suara walaupun dalam prosentasi tetap dan mendapat 58 kursi.
Pemilu-pemilu selanjutnya orde baru melakukan kanalisasi terhadap partai politik. Dengan suara Islam diarahkan kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan partai dengan corak Nasionalis kumpul menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemberlakuan azas tunggal Pancasila dalam kehidupan bernegara jelas memangkas keragaman ideologi politik di Indonesia. Undang-undang subversif menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan Islam dan Nasionalis sebagai gerakan ideologi politik muncul keatas permukaan.
Pemilu sebagai ajang pembuktian diterima atau tidaknya sebuah ideologi politik dalam bentuk partai semenjak 1971 hingga 1997 praktis hanya bersifat semu. Dengan peraturan monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) GOLKAR sebagai kekuatan pendukung pemerintah selalu menjadi pemenang. Akan tetapi di era reformasi ketika keran demokrasi dibuka, kemunculan berbagai partai politik pada pemilu 1999 dengan berbagai landasan ideologinya menandakan selama ini ideologi politik Indonesia terus berkembang dan melakukan gerilya politik.

D. Kekuatan Ideologi Politik Di Pentas Sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia
Ideologi berisi tatanan nilai yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pedoman untuk menjalankan kehidupan bersama dalam rangka meraih harapan-harapan yang dicita-citakan bersama. Tatanan nilai yang kemudian membentuk ideologi tersebut dapat berasal dari adat istiadat dan dapat pula bersumber dari suatu ajaran agama, atau merupakan gabungan keduanya. Fungsi dari ideologi ini adalah sebagai referensi konseptual yang memberikan koherensi pada aksi politik. Ideologi memainkan peranan dalam melekatkan hubungan pola pikir dan tingkah laku. Political Ideology is an aplication of particular moral preceptions to collectivities.
Ideologi politik mencakup (1) perilaku yang didasari sebuah nilai atau norma yang kemudian mempengaruhi pelaku-pelaku politik dalam ekspresi-ekspesi ideologisnya, (2) kegiatan dalam aspirasi sangat berpengaruh pada sikap dan tindakan pelaku politik untuk mempengaruhi para penguasa kebijakan dalam negara dan (3) untuk mempengaruhi rakyat tentang nilai-nilai agama sebagai orientasi utama dalam setiap bidang kehidupan.
Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada abad 20. Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Apakah pencetus ideologi politik ataukah pengikut ideologi secara sadar akan melakukan suatu aksi atau movement/gerakan baik dalam hal penyebaran ide-ide sampai pada gerakan yang bersifat politik yaitu meraih kekuasaan dalam rangka mengatur kekuasaan sesuai dengan ideology yang dianutnya. Inilah yang kemudian suatu ideologi menjadi motor penggerak suatu gerakan atau disebut sebagai gerakan politik. Suatu gerakan politik merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Tujuan gerakan politik sifatnya fundamental (mendasar) dan ideologis.
Merujuk gagasan dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, setidaknya terdapat tiga ideologi politik yang mendominasi masyarakat Indonesia, yaitu Nasionalis, Islam dan Marxis. Maka pada perkembangan sejarah pergerakan Bangsa Indonesia, identitas ideologi politik lahir dan berkembang seiring dengan lahir dan berkembangnya organisasi modern yang menjadi penggerak bagi perjuangan melepaskan belengguh kolonialisasi Belanda, sehingga organisasi politik modern yang terlahir tidak bisa dipisahkan dengan ideologi politik yang menjadi ciri identitas politiknya. Kelahiran Syarekat Islam (1911/1912) memiliki corak identitas politik Islam mengusung ideologi Islam, Partai Komunis Indonesia/PKI (1920) secara tegas mengusung ideologi Komunisme sementara ideologi Nasionalisme lahir dan berkembang setelah berdirinya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) tahun 1927.
Kalau berbicara pada tataran hal yang menjadi motivasi dan orientasi dari setiap gerakan politik yang meskipun memiliki perbedaan ideologi, secara ”dhohiriyah” lahirnya organisasi politik pada abad ke XX memiliki hasrat keinginan yang sama yaitu berjuang demi sebuah kemerdekaan, terbebas dari penjajahan Belanda.
Adanya hasrat yang sama ini mendorong beberapa komponen pejuang kemerdekaan untuk mempersatukan kekuatan ideologi politik yang berkembang saat itu. Upaya untuk mengunifikasi ideologi Nasionalis, Islam dan Marxisme terekam pada tulisan Soekarno dalam Suluh Indonesia Muda di tahun 1926 dengan merasionalisasikan bahwa Nasionalisme, Islam dan Marxisme memiliki kepentingan yang sama yaitu melawan kapitalisme dan imperialisme Barat. Sebelumnya, Tan Malaka berbicara agar Komunisme (sebagai manifestasi pemikiran Marx oleh Lenin) tidak memusuhi pan-Islamisme, karena adanya kesamaan visi dalam melakukan perlawanan terhadap kapitalis. Ucapan seorang Marxist Indonesia tersebut disampaikan pada Kongres Keempat Komunis Internasional (Comintern) pada 12 November 1922.
Perbedaan garis ideologi yang menjadi prinsip dasar perjuangan tidak serta merta dengan adanya kesamaan misi perjuangan, unifikasi yang digagas Soekarno atau hand together yang diinginkan Tan Malaka itu terwujud. Inilah kenapa sejarah pada akhirnya tidak ”linier” dan ”sebangun”. Sejarah tidak menjadi satu kesatuan aksi dan gerak karena memang kenyataan menunjukan bahwa garis ideologi politik yang berbeda melahirkan aksi-aksi yang bersifat politik pun berbeda. Sehingga jejak sejarah yang terekam dikemudian hari menunjukan jejak sejarah yang ”komplek”, ”tidak linier”, dan ”tidak berdiri sendiri”.
Bila kita menggeneralisasikan sejarah bangsa Indonesia pada setengah abad pertama di abad XX, tanpa mempertimbangkan pada gerak ideologi politik yang menjadi motor pengerak perjuangan maka yang hadir sekarang adalah sejarah pergerakan rakyat indonesia. Tetapi apabila kita memilah pergerakan rakyat Indonesia itu pada tiga ideologi yang menjadi kekuatan politik bangsa Indonesia maka secara obyektif akan lahir tiga mazhab sejarah yaitu (1). Sejarah Pergerakan Islam Indonesia, (2). Sejarah Pergerakan Komunis Indonesia dan (3). Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
Terlepas dari berbagai analisis, interpretasi, presepsi ataupun opini atas sejarah bangsa Indonesia dalam periode masa kapanpun terkhusus masa abad XX, fakta sejarah adalah sebuah realitas tak terbantahkan, tak akan bisa dihapus, tak bisa dilurus-lurus atau dibengkok-bekok karena fakta adalah fakta. Sementara analisis, interpretasi, presepsi ataupun opini yang membangun atau merekontruksi sejarah berdasar fakta sejarah dan melahirkan apa yang disebut tulisan sejarah adalah kajian, wawasan, dan pemahaman sejarah yang terus menerus mengalami pembaharuan dan pembaruan seiring dengan perkembangan “ilmu sejarah” yang menjadi alat untuk menjelaskan sejarah.
Lahirnya mazhab-mazhab sejarah yang memberikan “aksentuasi” penulisan sejarah pada salah satu ideologi politik yang lahir dan tumbuh di tanah air Indonesia apakah itu Islam, Komunis ataupun Nasionalis adalah kekayaan sejarah bangsa Indonesia. Hanya sayang hambatan terbesar di Indonesia adalah rapuhnya pemahaman mengenai arti penting sejarah sebagai bagian kebutuhan pendewasaan masyarakatnya.
Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Minggu, 24 Mei 2009

FILSAFAT HUKUM ISLAM,

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum Islam merupakan sistem aturan atau perundangan-undangan ideal yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, hubungan antara individu, masyrakat, dan antarnegara dalam keadaan damai atau perang yang ditetapkan berdasarkan norma-norma yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Kaidah-kaidah Hukum Islam atau lebih dikenal dalam Qawaidul Fiqhiyah adalah merupakan suatu kebutuhan bagi kita khususnya mahasiswa Fakultas Syari’ah di mana dalam mempelajari kaidah-kaidah hukum Islam maka kita bisa mengetahui masalah-masalah hukum politik, ekonomi, social dan budaya serta lebih mudah untuk mencari solusi-solusi dalam problem-problem yang terus muncul dan berkembanga dalam masyarakat.
Kaidah-kaidah hukum Islam adalah kaidah-kaidah hukum yang disusun oleh para Fuqaha sebagai pedoman untuk mempermudah dan membantu permasalahan parikular (al-Juz’iyyat) dan permasalahan yang mirip di dalam menetukan hukum dari suatu perkara atau kejadian.
Dalam kaidah-kaidah hukum Islam terdapat sangat banyak kaidah-kaidah dan bercabang-cabang dari sini dapat dipahami sisi kajian hukum Islam kecuali jika ia mempelajari kaidah-kaidah hukum Islam itu sendiri.
Untuk lebih jelas dan menambah wawasan Ilmu kita tentan Hukum Islam maka kami sebagai pembuat makalah hanya menjelaskan beberapa pokok-pokok masalah dalah kaidah-kaidah Hukum Islam diantaranya:
1. Apa Makana Kaidah?
2. Bagaimana Sejarah Kaidah-kaidah Hukum Islam (Qawaid al-Fiqhi)?
3. Bagaimana Kaidah-kaidah Hukum Islam serta apa Mamfaatnya?

BAB II
PEMBAHASAN
KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM


A. Pengertian Kaidah
Pengertian kaidah secara bahasa, adalah “al-asas” (dasar, asas, dan fondasi), al-qanian (peraturan dan kaidah dasar), “al-mabda” (prinsip), dan “al-nasaq” (metode atau cara).
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, menjelaskan arti kaidah secara bahasa adalah al-asas, yaitu baik sebagai asas yang konkret (inderawi), maupun yang abstrak (ma’nawi). Kaidah secara etimologis ialah asas. Dikatakan kaidah kepada fundasi rumah dan sepertinya. Makna inilah yang dipakai Al-Qur’an dalam ayat:
         •  •    
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".

Dalam istilah Nuhah ialah :
ا لضا بط بمعنى ا لحكم ا لكلي ا لمنطبق عل جميع جز ئيا ته كقو لهم ا لمبتد ا مرفو ع و ا لحا ل منصو ب
“dhabit yang bermakna suatu hokum kulli yang terterap atas segala suku-sukunya serta perkataan mereka: Mubtada itu mafru dan hal itu manshub”

Umpamanya Mubtada itu marfu. Hal itu manshub dan sebagainya dalam istilah ahli hokum maka sebahagiaanya memakai ibarat: Suatu hokum yang agharabi yang terterap atas segala suku-sukunya” dan sebahagiaanya memakai ibarat: Hukum yang aghrabi yang terterap atas kebanyakan suku-sukunya yaitu perkataan mereka segala urusan itu menurut maksud pelakunya”
Ulama berbeda dalam meredaksikan definisi kaidah secara istilah. Paling tidak ulama ahli nahwu berbeda pendapat dengan ulama ahli fiqh dan ahli ushul dalam menentukan redaksi kaidah secara istilah, ulama ahli nahwu berpendapat bahwa kaidah semakna dengan al-dlabith, yaitu : “aturan-aturan umum yang mencakup semua bagianya”. Sedangkan ulama ushul berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya supaya diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan umum tersebut.
Sedangkan ulama fiqh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah aturan pada umumnya atau kebanyakan yang membawahi bagian-bagiannya untuk mengetahui hukum-hukum yang dicakupnya berdasarkan aturan umum tersebut. .
Dari pengertian di atas dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
1. Kaidah adalah ugeran atau patokan umum yang dijadikan dasar untuk menentukan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum diketahui hukumnya.
2. Kaidah bersifat aglabiyat, aktsariyat atau pada umumnya. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian.
3. Tujuan pembentukan kaidah fiqh adalah agar ulama, hakim, dan mufti, memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan suatu sengketa atau masalah-masalah dalam masyarakat.


B. Sejarah Kaidah Hukum Islam (Qawaidul Fiqhiyah)
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu : ”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu : ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
o Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
o Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
o Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
o Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn Rajab al-Hambali (W. 795 H)

3. Fase Kematangan Dan Penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzin. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

C. Kaidah-kaidah dalam Hukum Islam
Dalam pembahasan kaidah-kaidah hukum Islam kami hanya menjelaskan lima dasar kaidah yang sebenarnya masih banyak kaidah-kaidah fiqhi lainnya. Seperti yang disusun oleh Imam Muhammad bin Muhammad ad-Dabbas yang berjumlah 17 kaidah. Dan oleh Imam Abul Hasan Abdullah bin al-Hasan (260-340 H), yang terkenal dengan sebutan Al-Karkhiy ditambah sehingga menjadi 37 kaidah yang ditulis dalam satu kitab. Bahkan pada masa Pemerintahan/Khilafah Utsmani disusun rencana Undang-undang yang kemudian menjadi kitab Fiqhi bernama Majallatul Ahkamil Adliyah. Pada Pasal 2 sampai 100 berisi kaidah Fiqhiyah. dan masih banyak lagi kaidah-kaidah hukum islam lainnya.
Ulama Fiqhi menetapkan bahwa ada lima kaidah hukum Islam yang mendasar yang diinduksi dari berbagai nash sehingga memunculkan berbagai kaidah lainnya. Kelima kaidah dasar yang disebut al-Qawai’d al-Khamsah tersebut adalah
1. al-Umuru bi Maqasidiha ا لاْ مو ر بمقا صد ها ) )
Pengertian kaidah bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatn atau perkataan subjek hokum (Mukallaf) tergantung dari maksud dan tujuan perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan setiap perbuatan atau perkataan-perkataan hokum yang dilarang dalam syariat islam.
Sumber pengambilan kaidah ini adalah sebagai berikut; Firman Allah SWT,
        ...............
Artinya ; Dan mereka tidak disuruh, kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.
Dan hadits Rasulullah SAW, yang Artinya : “Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niat. Dan sesungguhnya bagii seseorang hanyalah apa yang ia niatkan.
Dalam perbuatan ibadah khusus, niat adalah merupakan rukun, sehingga menentukan sah atau tidaknya suatu amal. Misalnya seseorang tidak makan dan minum dari sebelum terbit matahari sampai tenggelam matahari. Niat menentukan perbuatan ini apakah termasuk puasa atau sekedar menahan lapar dan haus (barangkali karena diet dan sebagainya). Dalam perbuatan yang berhubungan dengan sesama makhluk seperti muamalah, munakahah, jinayah, dan sebagainya, niat merupakan penentu apakah perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya. Perbuatan tersebut membawa dosa atau tidak.Misalnya menjadi anggota dewan, niat menentukan apakah betul untuk pengabdian, atau untuk mendapatkan gaji yang tinggi.
Niat juga merupakan pembeda tingkatan suatu ibadah, misalnya ibadah itu fardhu atau sunnat. Juga merupakan pembeda antara ibadah dan bukan ibadah yaitu amal kebiasaan.
Wudhu dan mandi, bisa berlaku sebagai ibadah, tetapi bisa juga sekedar mendinginkan badan atau membersihkannya. Tayammum bisa menjadi pengganti wudhu (untuk hadats kecil)dan bisa juga untuk hadats besar (janabat).
Semua bentuk pelaksanaannya sama, tetapi kedudukannya tidak sama tergantung maksud (niat)nya. Hampir semua masalah-masalah fiqh kembali kepada kaidah
pertama ini.
Kaidah ini lebih lanjut menurunkan beberapa kaidah sebagai berikut adalah:
1. Barang siapa menjual sesuatu atau menceraikan istrinya di dalam hati tanpa mengucapkannya maka ia tidak dihukum. Telah melakukan transaksi jual beli atau perceraian meskipun ia secara lugas menyatakan telah meniatkan demikian.
2. barang siapa memberi lahan kosong dengan niat untuk mewakafkannya,maka ia telah serta-merta menjadi pewakaf kecuali setelah ia mengucapkan ikra ,misalnyang ya:”aku wakafkan harta ini untuk orang-orang fakir miskin atau kepada lembaga-lembaga social,”dan sejenisnya.
3. jika orang yang dititipi barang (al-wadi) mengambil barang titipan dengan niatan mengonsumsinya (memakainya),lalu ia mengembalikan lagi barang tersebut ke tempatnya sebelaum sempat melakukan tindakan yang diniatkannya,namun ternyata barang tersebut rusak setelah ia kembalikan ke tempatnya dan setelah ia antarkan,sementara ia tidak melakukan tidak pelanggaran maupun kelalaian terhadap barang tersemut maka ia tidak dikenai kewajiban membayar jaminan pengganti.
4. barangsiapa berniat mermpas harta milik orang lain lalu ia urung melakukannya namun harta tersebut rusak ditangan pemiliknya maka ia tidak dianggap sebagai perampas dan tidak dikenai kewajiban mengganti. Meskipun ia secara lugas menyatakan diri berniat melakukan hal tersebut.
Dari kaidah ini para Ahli Hukum Islam merumuskan kaidah-kaidah lainnya berunyi “al-Ibrah fi al-‘Uqud bi al-Maqasid wa an-Niyat. Yang menjadi patokan dalam transaksi adalah tujuan dan niat.

2. Al-Yaqin la’ Yuzal bi asy-Syakk ا ليقن لا يزا با لشك))
Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya.
Dalil yang menjadi acuan kaidah ini adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah yang artinya:
ا ذ وجد ا حدكم في بطنه شيئ فا شكل عليه ا خرح منه شيئ ام لا فلا يخر خن من المسجد حتئ يسمع صوتا او يجد ريحا
Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan suatu di dalam perutnya lalu timbul keraguan, apakah sesuatu itu keluar perutnya atau tidak maka hendaklah ia tidak keluar masjid sampai ia benar-benar mendengar suara atau mencium baunya.
Kaidah ini juga bersumber dari hadits Nabi yang artinya ; “Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam mengerjakan shalat dan tidak tahu berapa raka’at ia telah shalat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat maka hendaklah menghilangkan keraguan itu dan tetap dengan apa yang diyakininya.
Dari batasan ini dapat dipahami bahwa seseorang dapat dikatakan telah menyakini terhadap suatu perkara, manakala terhadap perkara itu telah ada bukti keterangan yang ditetapkan oleh panca indra atau pikiran.
Dari kaidah ini Ulama Fiqhi mengembangkan kaidah lainnya di antaranya adalah “al-asl bara’ah az-zimmah” pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab. Maksudnya adalah pada dasarnya seseorang tidak dikenakann hukum atau tangung jawab sebelum terbukti ia melakukan suatu kesalahan,.


3. Ad-Dararu yuzal ا لضرر يزا ل))
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari Idhar (tidak menyakiti) baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya kepada orang lain.
Kaidah ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw, لا ضررولا ضرار tidak boleh membuat kemadlaratan dan membalas kemadlaratan.
Kaidah ini dipergunakan ahli hokum Islam dengan dasar argumentatif hadits Nabi: tidak boleh memberi mudarat dan membalas kemudaratan. Kaidah ini dipergunakan para ahli hukum fiqhi yang bersifat particular (furu) di antaranya bentuk-bentuk Khiyar dalam transaksi jual beli pembatasan wewenang (al-Hijr), Hak Syuf’ah (membeli pertama) oleh patner bisnis dan tetangga, Hudud, ta’zir dan pembatasan kebebasan manusia dalam masalah kepemilikin atau pemamfaatan agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.
Contoh jika seorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tangganya sehingga dapat membuatnya roboh maka perbuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
Contoh lain adalah seorang perokok dimana dalam kandungan rokok mengandung berbagai racun dan mempunyai mudarat yang tinggi maka untuk menghilangkan bahaya maka rokok harus ditinggalkan. Atau jika perokok merokok disekitar orang banyak maka akan merugikan orang disekitarnya dan bisa saja menjadi penyakit bagi yang kena asap rokok maka hal ini untuk menghindari bahaya orang lain perokok tidak boleh merokok disekitar orang banyak. (Pen)
Berdasarkan ketetapan para ahli hukum Islam tersebut apabila seorang menimbulkan bahaya yang nyata pada hak orang lain dan memungkinkan ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk menepis bahaya tersebut maka orang tersebut dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mencegah tersebut
Dari kaidah ini dikembangkan kaidah fiqhi lainnya dintaranya ‘Yatahammal ad-dararul khas li ajli daf’i darar al-‘am’ (Mudararat yang bersifat khusus atau terbatas harus ditanggung demi mencegah mudarat yang bersifat umum. “ dar al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih” (menolak bentuk kemudaratan lebih didahulukan daripada mengambil mamfaat), .

4. al-Masyaqqah Tajlib at-Taisiriا لمشقه تجلب التيسير) (
Kaidah ini memiliki makna apabila suatu perintah yang harus dilaksanakan mengalami kesulitan dalam mengerjakannya, maka ketika itu muncul kelapangan. Kaidah ini juga diinduksi dari berbagai ayat dan hadits diantaranya dalam Firman Allah:
        ……
Artinya : Dan Dia (Tuhan) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sedikit kesempitan.
        ……….
Artinya : Allah tidak hendak menyulitkan kamu.
        ………..
Artinya : Allah menghendaki baginya kemudahan dan tidak menghedaki bagimu kesulitan
Kaidah ini juga didasarkan pada Hadits Nabi yang Artinya “ Agama itu mudah . Agama yang lebih disenangi Allah ialah yang benar dan mudah.
Dengan kaidah ini diharapkan agar syari’at Islam dapat dilaksanakan oleh hamba kapan dimana saja, yakni dengan memberikan kelonggaran atau keringan di saat seseorang menjumpai kesukaran atau kesempitan.
Contoh kaidah ini didasarkan pada beberapa Hadits Nabi SAW, yang artinya: Kami keluar bersama Rasulullah saw, dari Madinah ke Mekkah, Beliau mengerjakan shalat dua Raka’at, dua raka’at sehingga kami pulan ke Madinah.
Tegasnya dalam keadaan musafir , dibolehkan mengqashar shalat (Jumlah Raka’at) dari empat raka’at menjadi dua raka’at, Kaidah ini dikalangan Ulama Ushul fiqhi disebut dengan hukum “Rukshah”.
Selain dari contoh kaidah di atas terdapat contoh lain yaitu dibolehkan berbuka puasa bagi orang musafir dan orang sakit, dibolehkan makan bangkai atau makanan lain yang diharamkan, diwaktu tidak ada makanan selain bangkai yang haramkan itu.
Kaidah ini juga merupakan kaidah dasar dalam mengatasi berbagai kesulitan pada masalah ibadah. Dari kaidah ini kemudian dikembangkan Ulama Fiqhi berbagai kaidah lainnya seperti Keadaan darurat membolehkan yang dilarang dan yang dibolehkan karena darurat terbatas pada kebutuhannya saja.


5. Al-‘adah Muhakamah العا د ة محكمة) )
Kaidah ini dirumuskan berdasarkan Firman Allah:
       ……….
Artinya : Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Dan dalam hadits Rasulullah yang Artinya : “Apa yang dipandang oleh orang Islam baik, maka baik pula disisi Allah
Al-‘Adat Muhakkamat (adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.
Prof. Dr. Abd al-Karim Zaidan menjelaskan bahwa ‘urf (tradisi) adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan masyarakat dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan dan muamalah mereka. Kebanyakan fukaha menyebutnya dengan âdat (adat). Karena itu, masih menurut Abd al-Karim Zaidan, tradisi dan adat itu sama
Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).
Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.
Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.
Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Contoh sederhana adalah mengenai mas kawin atau mahar. Quran menegaskan bahwa seorang lelaki harus memberikan mas kawin kepada perempuan yang dinikahinya (wa aatu al-nisa’a shaduqatihinna nihlah, QS 4:4). Tetapi Quran tidak menerangkan, berapa jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya.
Di sini, ada ruang “legal” yang dibiarkan terbuka oleh teks agama. Adat masuk untuk mengisinya. Jumlah mahar, menurut ketentuan yang kita baca dalam literatur fikih, diserahkan saja pada adat dan kebiasaan sosial yang ada. Oleh karena itu, jumlah mahar berbeda-beda sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat. Itulah yang dikenal dalam fikih sebagai “mahr al-mitsl“, yakni mas kawin yang sepadan dengan kedudukan sosial seorang isteri dalam adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
Contoh paling nyata adalah tahlilan. Tahlilan yang sampai pada masa sekarang masih mengundang perdebatan merupakan salah satu pilot project dakwah Wali Songo. Di jaman pra Islam, meninggalnya seseorang diikuti dengan kebiasaan kumpul-kumpul di rumah duka yang kemudian cenderung diisi hal-hal negatif, mabuk-mabukan dan seterusnya. di sinilah tahlilan muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang saya sebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da'i yaitu walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad SAW dalam melakukan perubahan sosial bangsa arab jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Contoh lain adalah proses akulturasi budaya pada arsitektur masjid dan surau. Bangunan masjid dan surau pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang—menurut sebagian sejarawan—mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama.
Kaidah ini sebagai sumber hukum jika terdapat tiga syarat adalah sebagai berikut;
1. tidak boleh berlawanan denga nash yang tegas
2. apabila adat itu telah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan berkembang dalam masyarakat.
3. adat merupakan adat yang umum.




D. Mamfaat Kaidah-kaidah Fiqhi
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1) Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2) Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3) Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4) Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
1) Mempermudah dalam menguasai materi hokumkaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
2) Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
3) Mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
4) Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
5) Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah-kaidah Hukum Islam (al-Qawâ'id al-Maqâshidiyyah) adalah aturan atau patokan dalam fiqh yang bersumberkan wahyu dan akal, bersifat kulli dan bersesuaian dengan juziyyahnya yang berkedudukan sebagai pedoman (dalil) dan berfungsi untuk membina hukum Islam.
Kaidah-kaidah Hukum Islam itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya).
Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
Setelah kita mempelajari kaidah-kaidah Hukum Islam maka akan lebih mempermudah kita dalam mengamalkan hokum-hukum Allah karena Hukum Islam bersifat Universal dan dinamis sesuai dengan tutunan zaman.
Kaidah-kaidah hukum Islam juga bertujuan memelihara roh Islam dalam mebina hukum mewujudkan idea-idea yang tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, maupun dalam memelihara maslahat-maslahat, menolak mufsadat, serta memperhatikan keadaan dan suasana.
Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
a. Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
b. Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

B. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Kaidah-kaidah Hukum Islam, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

DAFTAR PUSTAKA

Bakri Nazar. 1993. Fiqhi dan Ushul Fiqhi. Jakarta: PT. Rajawali Pers.
Departemen Agama. 1985. Ushul fiqhi Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta: PTAI
Hasbih M. Ash-Shidiq. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/12/kaidah-fiqh-dan-nadlariyah-al-fiqh
Muhammad Washil Nashr Farid dan Muhammad Azzah Abdul Aziz. 2009. Qawaidul Fiqhiyah. Jakarta: Amzah.
Zaidan, Abd al-Karim, 1996Al-Madkhal ila as-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. XIV,
Kisah Wali Songo Sumber : http://dimhad.6te.net

Selasa, 03 Februari 2009

HUKUM PIDANA ISLAM


RESUME
FIQHI JINAYAH

Nama : Moh. Yusran
Nim : SP.060924
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Semester : v (lima)

A. Pengertian Jinayat/Jarimah
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.

B. Macam macam Jarimah
Macam macam tindak pidana (Jarimah) dalam Islam dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qishosh diyat dan ta'zir.
1. Jarimah Hudud. Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama' sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
2. Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja pembunuhan semi sengaja, pembunuhan keliru (qotl khotho'), penganiayaan sengaja dan penganiayaan salah (jarh khotho').
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (Al ˜Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (Al ˜uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (Al uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
3. Ta'zir
Jarimah hudud bisa berpindah menjadi Jarimah Ta'zir bila ada syubhat, baik itu shubhat fi al fi'li, fi al fa'il, maupun fi al mahal. Demikian juga bila Jarimah hudud tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian dan percobaan pembunuhan. Bentuk lain dari jarimah ta'zir adalah kejahatan yang bentuknya ditentukan oleh ulil amri sesuai dengan nilai nilai, prinsip prinsip dan tujuan syari'ah, seperti peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi sanksi kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin dan lain lain.
Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.

C. Jenis-Jenis Hukuman
 Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
 Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: "Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud".
 Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
 Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha' tidak lebih dari tiga hari.
 Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah."
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
 Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
"Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat."
 Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, "Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.
Dalam cakupan fikih jarimah dalam syariat islam dikenal prinsip bahwa suatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika telah dinyatakan dalam nash atau dengan bahasa kenegaraan,sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika telah diundangkan.
Dengan adana prinsip tersebut macam jarimah dan sangsinya akan dapat diketahui dengan jelas dan pasti.dengan demikian orang akan berhati-hati agar jangan sampai melakukan jarimah yang akan berakibat penderitaan terhadap diri sendirinya juga.dari segi lain adanya prinsip tersebut akan mencegah terjadinya penyalah gunaan wewenang penguasa atau pengadilan untuk menjatuhkan suatu hukumankepada seseorangt berbeda dengan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap orang lain yang melakukan jarimahyang sama dengan motif yang sama pula.
Adanya prinsip tersebut dimaksudkan juga untuk memberikan kepastian hukum terhadap bermacam macam jarimah.jangan sampai suatu hukuman dijatuhkan terhadap sesuatu jarimah yang diatur kemudian.Meskipun demikian,dapat dikecualikan untuk hal yang dipandang yang amat besar bahayanya terhadap masyarakat.aturan dapat dibuat kemudian kemudian setelah perbuatan jarimah dilakukan,guna menjadi dasar hukum dalam hendak menjatuhkan hukuman.
Macam jarimah yang ditentukan ancaman pidananya dalam al-quran ialah pembunuhan ,penganinayaan ,pencurian ,perampokan,pemberontakan,zina,dan menuduh zina.Hadis naba saw.kecuali memberikan perincian jarimah-jarimah yang ditunjuk didalam al’quran tujuh macam tersebut,juga menentukan sangsi pidana terhadap dua macam jarimah lainnya,yaitu:minuman keras,dan riddah keluar dari agama islam.

D. Unsur-unsru Jinayah/Jarimah
Adapun aturan hukum maupun unsure-unsur perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah yaitu apabila memenuhi beberapa sarat atau unsure-unsur sebagai berikut:
1. Unsur formal,yaitu adanya nas atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah.unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nas.Alasan harus adanya unsur ini antara lain firman allah dalam QS al isra:15 yang mengajarkan bahwa allah tidak akan menyiksa hambanya sebelum mengutus utusannya.Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran rasul allah harus lebih dulu diketahui adanya ajaran rasul allah yang dituangkan dalam nas.
2. Unsur material,yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan.Hadis nabi riwayat bukhari muslim dari abu hurairah mengajarkan bahwa allah melewatkan hukuman untuk umat nabi muhamad atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati,selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakannya dengan nyata.
3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah.unsur ini menyangkut tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas orang yang telah baliq, sehat akal, dan ikhtiyar(berkebebasan berbuat). dengan kata lain, unsure moral ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukalaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh. Hadis Nabi riwwayat Ibnu Majah dari Abu Dzarr mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman terhadap umat nabi Muhammad karena salah(tidak sengaja), lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.

E. Tinjauan Umum Tentang Asas Legalitas D Menurut Hukum Pidana Islam dan Dasar Hukum
1. Asas Legalitas
Kalangan para ulama’ fiqih, asas legalitas berarti suatu konsekuensi logis dari persyaratan seorang mukallaf (subjek hukum) dan perbuatan mukallaf.
Seperti diketahui bahwa salah satu syarat mukallaf adalah mampu memahami aturan yang mewajibkan dan yang melarang suatu perbuatan. Syarat ini sudah tentu mengharuskan aturan-aturan tersebut ada lebih dahulu untuk bisa dipahami dan dimengerti leh seorang mukallaf.
Sedangkan perbuatan yang diwajibkan atau dilarang itu harus diketahui dengan melalui aturannya agar bisa ditaati dengan cara meninggalkan yang dilarang dan melakukan yang diwajibkan. Hal inipun mengharuskan adanya aturan terlebih dahulu.
Pengertian asas legalitas pada pokoknya menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali ada kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu, artinya adalah tak ada pelanggaran dan tak ada hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya.
Dengan perkataan lain bahwa perbuata seorang yang cakap bertindak tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nash yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut, sehingga ada nash yang melarang.
Dengan demikian dari kaidah tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dipandang sebagai jarimah kecuali ada nash atau ketentuan yang jelas dan melarang perbuatan serta sikap tidak berbuat yang dilakukan oleh orang mukallaf.
2. Dasar Hukum
Berdasarkan syari’at Islam, tujuan berlakunya asas legalitas itu sendiri hampir sama dengan apa yang dikemukakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal ini terjadi karena dalam hukum pidana Islam hukuman memperupakan pendidikan bagi pelanggar dan bukan untuk menganiaya yang bersangkutan.
Dengan asas legalitas inilah, diharapkan setiap umat manusia yang memeluk agama Islam sudah memahami hukuman apa yang akan diterima bagi yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama. Disamping hukuman di dunia, Islam mengajarkan bahwa hukumannya juga akan diterima yang bersangkutan di akhirat nanti setelah meninggal dunia.
3. Konsepsi berlakunya asas legalitas
Syari’at Islam mengenal asas legalitas yang diterapkan pada semua macam jarimah, maksudnya adalah bahwa nas-nas pidana dalam syari’at Islam baru berlaku terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum nas-nas itu diundangkan. Artinya nas-nas tersebut tidak mempunyai kekuatan berlaku surut, dan perbuatan jarimah hanya diterapkan menurut aturan yang berlaku pada saat peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Asas legalitas diterapkan oleh syari’at pada semua jarimah, akan tetapi corak dan cara penerapannya tidak sama, melainkan berbeda-beda, menurut perbedaan macamnya jarimah.

Jarimah Qadzaf
A. Pengertian Jarimah Qadzaf (Menuduh Zina)
Jarimah atau Jinayah menurut Abd. Al-Qadir Awdah adalah “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya”. Jadi jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sedangkan menurut al-Mawardi Jarimah atau Jinayah adalah “Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”.
Para ulama’ dan ahli hukum Muslim awal tidak membedakan antara aspek perundangan, etika dan agama dalam syari’ah, apalagi memilah bidang-bidang hukum tertentu secara terpisah. Akibatnya prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang sesuai dengan apa yang dikenal dalam terminologi modern sebagai hukum pidana, pembuktian dan prosedur, hanya bisa disarikan dari risalah dan fiqh Islam yang umum dan luas.
Qadzaf ialah melemparkan tuduhan zina kepada orang yang baik-baik lagi suci bahwa ia telah berbuat zina.. Yaitu maksudnya qadzaf ialah membuat tuduhan zina yang tidak dibuktikan terhadap seorang Islam yang akil baligh dan dikenali sebagai seorang yang bersih dari perbuatan zina tanpa pembuktian dengan empat orang saksi laki-laki. Qadzaf boleh berlaku dengan membuat kenyataan secara jelas seperti mengatakan seseorang itu telah berzina, atau dengan cara tersirat seperti menyatakan bahwa seseorang itu bukan anak atau bukan bapak kepada seseorang tertentu.
B. Syarat Menetapkan Kesalahan Qadzaf
Qadzaf boleh dijatuhkan dengan syarat membuat suatu kenyataan dengan cara yang nyata seperti menyatakan bahwa seseorang itu telah melakukan zina atau dengan cara tersirat seperti menyatakan bahwa seseorang itu bukan anak atau bukan bapak kepada seseorang tertentu. Kenyataan tersebut dianggap sebagai qadzaf apabila bisa dibuktikan dengan empat orang saksi laki-laki, dan jika kenyataan itu tidak bisa dibuktikan maka orang yang membuat tuduhan itu adalah telah melakukan kesalahan qadzaf. Tetapi sekiranya kenyataan itu dibuktikan, maka orang yang dituduh itu ditetapkan telah berbuat zina.
Suatu kenyataan dianggap tidak terbukti, sekiranya seseorang atau beberapa orang saksi yang berempat itu dipanggil untuk memberi keterangan sebagai pembuktian kenyataan itu, dan mereka enggan atau tidak mau memberikan keterangan itu atau jika mereka memberikan suatu keterangan yang berlainan dengan kenyataan sebenarnya. Dalam keadaan ini penuduh tersebut telah ditetapkan melakukan kesalahan qadzaf dan sah dikenakan had qadzaf atas dirinya.

C. Pembuktian Qadzaf
Kesalahan qadzaf boleh ditetapkan apabila ada salah satu bukti-bukti seperti berikut ini;
1. Penyaksian, yaitu saksi-saksi yang boleh diterima penyaksian uantuk membuktikan ketetapan kesalahan qadzaf haruslah disaksikan oleh saksi-saksi yang layak menjadi dalam perbuatan zina. Untuk membuktikan ketetapan kesalahan qadzaf ialah dengan pengakuan sendiri dari orang yang membuat tuduhan atas seseorang yang melakukan zina dengan sekali pengakuan dalam mahkamah atau majlis kehakiman.
2. Pengakuan, yaitu seseorang yang mengaku bahwa ia telah menuduh orang lain berbuat zina, maka hakim boleh menjatuhkan had qadzaf pada dirinya.
3. Sumpah, yaitu dalam perbuatan qadzaf boleh ditetapkan kesalahan qadzaf dengan sumpah. Jikalau orang yang dituduh tidak mempunyai barang bukti untuk menolak dan menghindar dari tuduhan orang yang menuduh, maka orang yang dituduh itu hendaklah meminta kepada orang yang membuat tuduhan supaya bersumpah atas kebenaran tuduhannya itu.
4. Qarinah (bukti-bukti), yaitu terbagi dua; Bukti yang kuat dan Bukti yang lemah. Bukti yang kuat adalah bukti yang cukup untuk mengharuskan hukuman dilaksanakan.

D. Pelaksanaan Hukuman Qadzaf
Orang yang melakukan kesalahan qadzaf hendaklah dihukum dengan hukuman dera/ dicambuk dengan 80 kali cambukan dan keterangannya sebagai seorang saksi tidak boleh diterima lagi sehingga dia bertaubat atas perbuatannya itu.
Menuduh orang yang baik lagi suci berzina tanpa mendatangkan 4 orang saksi laki-laki yang adil hukumnya adalah haram dan termasuk dalam dosa besar dan wajib dikenakan hukuman had qazaf atau dera.
Kecuali jikalau dia dapat membawa 4 orang saksi yang dapat menetapkan kesalahan orang yang dikatakan berzina tersebut dengan kesalahan zina. Hukuman ini berdasarkan kepentingan kehormatan seseorang dikalangan masyarakat. Ia juga untuk memastikan tidak ada tuduhan zina yang dibuat tanpa ada dasar yang kukuh, karena tuduhan zina itu suatu yang amat memalukan dan akan menyebabkan kehancuran rumah tangga seseorang.
Hukuman hudud bagi qazaf adalah satu ketetapan Allah s.w.t. berdasarkan firmannya dalam surat an-nur ayat 4:
                    
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.
Syarat-syarat sebelum dijatuhkannya hukuman Qadzaf, ialah :

1. Qadzaf (orang yang menuduh), syarat-syaratnya :
a. Berakal
b. Baligh
c. Ikhtiar (tidak dalam keadaan terpaksa)
2. Maqdzuf (orang yang dituduh), syarat-syaratnya :
a. Berakal
b. Baligh
c. Islam
d. Merdeka
e. Belum pernah dan menjauhi tuduhan tersebut
3. Maqdzuf ‘Alaihi (tuduhan), syarat-syaratnya :
a. Sharih (jelas), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan-perkataan yang jelas dan tetap yang tidak boleh ditafsirkankepada maksud yang lain selain daripada zina dan penafian nasab (keturunan).
b. Kinayah (kiasan), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan yang tidak tetap akan tetapi memberi pengertian zina.
c. Ta’ridh (sindiran), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan tidak tetap juga dan memberi pengertian yang lain daripada zina sebagaimana yang dilakukan dalam perkataan kinayah.

Jarimah Pembrontakan
A. Pengertian dan Unsur Pembrontakan
Bughah secara harfiah artinya menanggulkan atau melanggar. Dalam istilah hukum Islam yang dimaksud dengan bughah yaitu ushah atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan menggulingkan pemerintah yang sah.
Menurut Ulama Hanafiyah, al-Baghyu diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Ulama Syafi’iyah berkata “Pembrontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi Imam dengan cara tidak mentaati dan melepaskan dirinya dari atau menolak kewajiban dengan memiliki kewajiban, memiliki argumenatasi dan memiliki pemimpin. `
Sementara Mazhab Maliki al-Baghy diartikan sebagai penolakan untuk mentaati Imam yang sah dengan jalan kekuatan. Penolakan untuk taat ini mungkin didasarkan pada penafsiran tertentu, mereka mendefinisikan bughat sebagai satu kelompo orang-orang Islam yang menentang Imam dan wakil-wakilnya.
Sesuatu gerakan anti pemerintah pembrontak dan harus dihukum sebagai mana yang ditetapkan pada ayat di atas dengan catatan sebagai berikut:
a. Pemegang kekuasaan yang sah bersikap adil dalam menetapkan kebijakan.
b. Pembrontakan merupakan satu kelompok yang memiliki kekuatan sehingga pemerintah untuk mengatasi gerakan tersebut harus bekerja jika gerakan tersebut hanya dilakukan segelintir orang yang mudah diatas dan dikontrol tidak termasuk Bugha.
c. Dari gerakan tersebut diperoleh bukti-bukti kuat yang menunjukan sebagai gerakan untuk membrontak guna menggulingkan pemerintahan yang sah. Jika tidak gerakan tersebut dikategorikan sebagai pengacau keamanan atau perampok
d. Gerakan tersebut mempunyai sistem kepemimpinan karena tanpa ada seorang pemimpin tidak mungkin kekuatan akan terwujud.

B. Saksi dan Dasar Hukum Pembrontakan
Ada dua pendapat Ulama mengenai hukuman yang wajib dikenakan atas pembrontakan yaitu sebagian Ulama berpendapat bahwa pembrontak wajib terus diperangi, karena membiarkan kegiatan mereka akan melahirkan kerusakan-kerusakan dan kekacauan yang sukar dibendung,
Sebagai Ulama berpendapat lain bahw pembrontak wajib diperangi. Hal ini telah menjadi Ijma Ulama tetapi sebelum diperangi hendaklah mereka terlebih dahulu diberi nasehat terakhir jika mennghadapi mereka bukan sebagai tujuan, hanya sekedar jalan supaya mereka kembali dijadikan prinsip bagi seorang kepala Negara dalam menghadapi pembrontak.
Dasar hukum
Dasar Hukum yang dijadikan acuan sebagai firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 9:

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Alasan hukum berlakunya sanksi sebagaimana Firman Allah yakni untuk menciptakan sistem kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintahan. Seperti diketahui bahwa manusia membutuhkan teman. Pergauluan antara seorang dengan yang lain semakin lama semakin meluas untuk menjalin antara satu pihak yang lain dengan pihak yang lain diperlukan seorang pemimpin, berikut sistem aturan yang menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik apabila semua pihak mematahi peraturan tersebut. Pembrontakan dalam arti upaya untuk menggulingkan pemerintah yang sah pembrontak sama dengan pengkhianat.
Sedangkan dalam hadits dinyatakan: “barang siapa mendatangimu sedangkan urusanmu berada pada tangan seorang pemimpin untuk mengoyak kekuatan atau memecah belah jamaahmu, maka bunuhlah dia.”

C. Bentuk-bentuk Pembrontakan
Tidak taat kepada pemerintahan yang adil adalah salah satu perbuatan dosa begitu juga membantu penguasa zalim, seseorang atau orang dalam pembrontakannya biasanya terdapat unsur-unsur politik di dalamnya adakalanya ingin merebutkan kekuasaan menggulingkan dan menjatuhkan pemerintahan.
Ada beberapa golongan yang dikatakan sebagai pembrontakan yaitu sebagai berikut:
a. Golongan yang tidak mentaati pemerintah bukan karena salah faham dan sengaja untuk merusakan keamanan dalam negri.
b. Golongan yang membrontak terhadap pemerintah karena salah faham tetapi bilangannya kecil, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa golongan ini juga termasuk pembrontak tanpa melihat sedikit atau banyaknya bilangan. Dengan demikian wajib dikenakan hukum Bughah atas mereka.
c. Golongan yang menentang Kepala Negara yang bertujuan melepaskan jabatannya karena suatu kekelihatan dan mereka mempunyai kekuatan yang memerlukan kekuatan pula untuk menumpas mereka. Termasuk ke dalam Bughah apabila 2 golongan Umat Islam yang berperang karena merebutkan kekuasaan.

D. Pembuktian Pembrontakan
Perkara yang disepakati oleh seluruh Mazhab dalam Islam bahwa tidak harus pemerintah memerangi al-Bughah sebelum diketahui sebab penentangan mereka. Apabila mereka menda’wakan tentang kezaliman dalam penyelewengan pemerintah menghapuskan dulu kezaliman dan penyelewengan itu. Selepas itu barulah pemerintah menyeru dan mereka supaya kembali taat dan mereka wajib kembali taat “selepas kezaliman dan penyelewengan dihapuskan”. Jika mereka enggan maka pemerintah berhak memerangi mereka ini berdasarkan sebab-sebab.
a. Mereka bersenjata dan menentang secara kekerasan sebaliknya hanya mencoba bersuara dan ingin menyatakan kepada rakyat umum tentang pendapat mereka maka itu dikatakan pembrontak.
b. Mereka memberitahukan kepada rakyat seolah-olah pemerintah telah melakukan kesalahan dan penyelewengan.
c. Mereka mengajak rakyat menukar pemerintah secara kekerasan.
Hukuman
1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan,
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa dan sebagainya” atai “ Keputusan yang dijatuhkan Hakim”
Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut:
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.
2. Tujuan Hukuman
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar’radu waz zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-Islah wat Tahdsib). Pengertian pencegahan ialah ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimah atau ia tidak terus menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar tidak memperbuat jarimah sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama.
Dengan demikian maka kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Oleh karena itu tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabil kondisinya demikian maka hukuman terutama Ta’zir dapat berbeda-beda sesuai dengan perdedaan pelakunya.
Tujuan yang kedua perbaikan dan pendidikan adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahan. Di sini dapat dilihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelakunya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena akan hukuman melainkan kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat Ridha Allah SWT.
Disamping kebaikan dan pendidikan dalam syari’at Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai sesama anggotanya dengan mengetahui batas hak dan kewajibannya. Pada hakekatnya suatu jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya. Dengan demikian akan terwujud rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

3. Macam-macam Hukuman
Setelah kami membaca dari beberapa literatur terdapat beberapa penggolongan tentang macam-macam hukuman dapat disimpulkan bahwa macam-macam hukuman dalam Hukum Pidana Islam ialah sebagai berikut:
a. Hukuman Hudud ialah hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud yang telah ditetapkan oleh Allah.
b. Hukuman Qishas dan diat yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diat tetapi hukuman ini adalah Hak manusia.
c. Hukuman Kifarat ialah hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishas dan diat dan beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir.

4. Gabungan Hukuman
Gabungan Hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabuangan jarimah. Gabungan jarimah terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam jarimah, di mana masing-masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan terkahir.
Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh beberapa macam ketentuan. Sedangkan gabungan Jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari pelakunya sehingga masing-masing jarimah dianggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri.
Dalam hukum Pidana Islam teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal oleh para Fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi deang dua teori yang lain yaitu:
1. Teori saling Melengkapi
Menurut teori ini ketika terjadi gabungan perbuatan maka hukuman-hukumannya saling melengkapi (memasuki), sehingga oleh karenanya semua perbuatan tersebut hanya dijatuhi satu hukuman., seperti kalau seseorang melakukan satu jarimah.
2. Teori Penyerapan
Pengertian penyerapan menurut Syari’at Islam adalah cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja, sehingga hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan. Hukuman dalam konteks ini tidak lain adalah hukuman mati, di mana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman yang lain.

5. Syarat-syarat Hukuman
Agar hukuman itu diakui keberadaanya maka harus dipenuhi tiga syarat di antaranya sebagai berikut:
a. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukuman dianggap mempunyai dasar “ Syari’iyah” apabila di dasarkan kepada sumber-sumber syara seperti al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma atau Undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang “Ulil Amri” seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hukuman ditetapkan oleh Ulil Amri maka disyaratakn tidak boleh bertetangan dengan ketentuan syara’.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
b. Hukuman Harus bersifat Pribadi
Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini tidak mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syari’at Islam.
c. Hukuman Harus Bersifat Umum
Hukuman juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi apapun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya didepan hukum semua status sama, tidak perbedaan yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa antara bangsawan dan rakyat jelata.

6. Pengguguran Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan gugurnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan

7. Syubhat
Setelah tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan, maka di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.
Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada antara halal dan haram; yakni yang betul-betul halal dan betul-betul haram. Dia berkata, "Barangsiapa yang menjauhinya,berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang bercampur antara yang halal dan haram."
Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Muttafaq 'Alaih:
"Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus ke dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang ternaknya memakan rumput di sana."
Macam-macam Syubhat dapat diadakan menurut bermacam-macam cara peninjauannya.
1. Syubhat Objektif yaitu yang timbul dari objek jarimah “Syubhat fil mahali” karena adanya sesuatu hukum Syari’at seperti pencurian terhadap harta anak sendiri. Pencurian itu sendiri dilarang oleh nash al-Qur’an dalam surat al-maidah ayat 38. dalam nas hadits yang bahwa Engkau dan hartamu menjadi milik ayahmu” Nas hadits menjadi Syubhat bagi pelaksana nas pertama yaitu al-Qur’an yang larangan mencuri dan hukumannya juga.
2. Syubhat Subjektif yaitu syubhat yang bersumber pada dugaan si pembuat di mana ia dengan itikad yang baik melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang atau tidak mengira bahwa perbuatannya itu dilarang. Seperti orang laki-laki yang bercampur dengan seorang perempuan untuk pertama kali karena dikira istrinya, tetapi ternyata kemudian bahwa perempuan itu bukan istrinya. Perkiraan pada diri si pembuat tersebut menimbulkan syubhat yang bisa menghapuskan hukuman had.
3. Syubhat Yuridis yakni syubhat yang timbul dari perbedaan pendapat para Fuqaha tentang hukum sesuatu perbuatan.

8. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
a. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.
b. Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
c. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut.
Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.
d. Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut.


Percobaan Melakukan Jarimah
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha, bahkan istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan terlihat. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan melakukan melalui hukuman takzir, bagaimanpun juga macamnya jarimah itu. Para Fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syarat tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukuman juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah takzir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah takzir seperti memaki-maki (menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul amri) untuk menentukan mecamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.
Kedua, dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah takzir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman takzir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat . Pencuri misalnya apabila telah melubangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian
Apabila pencurian tersebut dapat berbagai-bagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah maka, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan ‘pencurian’, dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman takzir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur menjadi satu, yaitu pencurian.
Disini jelaslah kepada kita, mengapa para Fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai, dimana jarimah macam kedua hanya dikenakan hukuman takzir. Sungguhpun istilah “percobaan” tidak dikenakan kepada mereka, namun apa yang dimaksud dengan istilah tersebut terdapat pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak selesai.
Pendirian syara’ tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup dari padanya hukum-hukum positif, sebab menurut syara’ setiap perbuatan yang tidak selesai disebut maksiat yang dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya.
Siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan dijatuhi hukuman takzir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah dihukum. Misalnya pada KUHP RPA (Republik Persatuan Arab) hanya percobaan melakukan jarimah “jinayat” dan beberapa jarimah janhah saja yang dikenakan hukuman.
Menurut KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum Sesuai dengan pendirian dengan syara’, maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat kematian, maka perbuatan tersebut termasuk kedalam pembunuhan yang disengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut hanya dapat dihukumi sebagai penganiayaan saja, dengan hukumannya yang khusus. Namun, apabila pembuat membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut maksiat, dan hukumannya adalah takzir.

Fase-Fase Pelaksanaan
Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekali, karena hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi pidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dapat dihukum.
a. Fase Pemikiran dan Perencanaan (Marhalahal Tafkir)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW., sebagai berikut:
ﺇﻦﺍﷲﺗﺟﺎﻮﺯﻷﻣﺗﻰﻋﻤﺎﻭﺴﻭﺴﺕﺃﻮﺤﺩﺛﺖﺒﻪﺃﻨﻔﺴﻬﺎﻣﺎﻠﻡﺘﻌﻣﻝﺒﻪﺃﻭﺘﻜﻟﻣﺕ
Artinya: “Tuhan mema’afkan ummatku dari apa yang dibisikan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.
Aturan tersebut sudah terdapat dalam syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada abad ke-18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum pada masa itu, niatan dan pemikiran dapat dihukum, kalau dapat dibuktikan. Juga, pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.

b. Fase Persiapan (Marhalah Al-Tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli sejata untuk membunuh orang lain dan atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan cara membiusnya. Dalam contoh ini adalah dengan jalam membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri.
c. Fase Pelaksanaan (Marhalah Al Tanfidz)
Pada fase inilah perbuatan pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman takzir, dan selanjutnya dianggap pula percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari, dan membawanya keluar dan sebagainya

.
d. Pendirian Hukum Positip
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (wetboek van strafrecht) (S. 1915-732 jis. S. 1917-497, 645, mb. 1 Januari 1918, s.d.u.t. dg. UU No. 1/1946). Pada Bab ke IV tentang percobaan pasal 53:
1. Percobaan untuk melakukan kejahatan dipidana, bila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri. (KUHP 154 5, 3024, 3515.)
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
3. Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatan yang telah diselesaikan. (KUHP 54, 86 dst., 1845, 3024 , 3515, 3522.)
Pasal 54.
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 60; Inv.Sw. 46.).

Pencobaan Melakukan Jarimah Mustahil
Dikalangan Fuqaha nampak adanya pembahasan tetang percobaan melakukan “jarimah mustahil” yang terkenal dikalangan para sarjana-sarjana hukum positif dengan nama ”ondeug delijk poging” (percobaan tak terkena = ﺍﻠﺸﺭﻮﻉ ﻓﻰﺍﻟﺟﺮﻳﻣﺔ ﺍﻟﻣﺳﺘﺣﻳﻠﺔ, asy-syuru’ fi al jarimah al mustahil), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai melakukannya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal. Atau boleh jadi karena barang atau perkara (voorwerp) yang menjadi objek pembuatnya tidak ada, seperti orang menembak orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, sedang sebenarnya orang tersebut telah meninggal sebelumnya.
Biasanya dibedakan antara “percobaan-tak-terkena-absolut” dengan “percobaan-tak-terkena-relatif” (absolut ondeug delijk poging dengan relatief ondeug delijk poging). Apabila ada seseorang yang hendak meracuni orang lain bukan dengan bahan racun atau dengan bahan racun tetapi sedikit sekali, sehingga tidak menyebabkan matinya korban. Atau pengguran kandungan dengan sengaja terhadap seorang wanita yang sebebenarnya tidak hamil. Dalam kedua contoh tersebut, perbuatan-perbuatan itu disebut, “percobaan-tak-terkena-absolut”. Akan tetapi pada contoh pertama disebut absolut (mustahil) dari alat yang dipakai (midded) maka pada contoh kedua adalah absolut (mustahil) dari segi perkara yang menjadi objek (voorwerp).
Apabila pada peracun sebenarnya racun yang diberikan sudah cukup mencapai dosisnya, akan tetapi orang yang diracun kuat badannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak meninggal, maka perbuatan tersebut disebut “percobaan-tak-terkena-relatif” dari segi alat. Atau seseorang yang mencoba meledakkan gudang alat senjata dengan bom pembakar; akan tetapi kebetulan alat senjata tersebut sedang basah. Perbuatan ini disebut “perbuatan-tak-terkena-relatif” dari segi perkara yang menjadi objek jarimah.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad, Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1991
_______, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1993,
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar Ibnu Al-Khattab, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1991
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1998
-------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1998,
Bardan Nawawi Arif, Perbandingan Hukum Pidana, Penerbit Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1994
C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999
Djoko Prakoso, Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1997
HA. Djazuli, Fiqih Jinaya, Penerbit Grafindo Persada, Jakarta, 1996
J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1995
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1993,
---------------, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1994.
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Penebit Rajawali Press, Jakarta, 1990.
Mukhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Penerbit Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Sarjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1994,
WJS. Poerdaminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, Cet. Ke 1, 1976
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kompilasi Hukum Islam
Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islaam, Penerbit PT aal-Ma’arif, Bandung, 1991.