Selasa, 03 Februari 2009

HUKUM PIDANA ISLAM


RESUME
FIQHI JINAYAH

Nama : Moh. Yusran
Nim : SP.060924
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Semester : v (lima)

A. Pengertian Jinayat/Jarimah
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.

B. Macam macam Jarimah
Macam macam tindak pidana (Jarimah) dalam Islam dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qishosh diyat dan ta'zir.
1. Jarimah Hudud. Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama' sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
2. Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain pembunuhan sengaja pembunuhan semi sengaja, pembunuhan keliru (qotl khotho'), penganiayaan sengaja dan penganiayaan salah (jarh khotho').
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (Al ˜Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (Al ˜uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (Al uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
3. Ta'zir
Jarimah hudud bisa berpindah menjadi Jarimah Ta'zir bila ada syubhat, baik itu shubhat fi al fi'li, fi al fa'il, maupun fi al mahal. Demikian juga bila Jarimah hudud tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian dan percobaan pembunuhan. Bentuk lain dari jarimah ta'zir adalah kejahatan yang bentuknya ditentukan oleh ulil amri sesuai dengan nilai nilai, prinsip prinsip dan tujuan syari'ah, seperti peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi sanksi kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin dan lain lain.
Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.

C. Jenis-Jenis Hukuman
 Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
 Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: "Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud".
 Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama' ulama' lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
 Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha' tidak lebih dari tiga hari.
 Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah."
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
 Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
"Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat."
 Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw, "Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman." Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.
Dalam cakupan fikih jarimah dalam syariat islam dikenal prinsip bahwa suatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika telah dinyatakan dalam nash atau dengan bahasa kenegaraan,sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika telah diundangkan.
Dengan adana prinsip tersebut macam jarimah dan sangsinya akan dapat diketahui dengan jelas dan pasti.dengan demikian orang akan berhati-hati agar jangan sampai melakukan jarimah yang akan berakibat penderitaan terhadap diri sendirinya juga.dari segi lain adanya prinsip tersebut akan mencegah terjadinya penyalah gunaan wewenang penguasa atau pengadilan untuk menjatuhkan suatu hukumankepada seseorangt berbeda dengan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap orang lain yang melakukan jarimahyang sama dengan motif yang sama pula.
Adanya prinsip tersebut dimaksudkan juga untuk memberikan kepastian hukum terhadap bermacam macam jarimah.jangan sampai suatu hukuman dijatuhkan terhadap sesuatu jarimah yang diatur kemudian.Meskipun demikian,dapat dikecualikan untuk hal yang dipandang yang amat besar bahayanya terhadap masyarakat.aturan dapat dibuat kemudian kemudian setelah perbuatan jarimah dilakukan,guna menjadi dasar hukum dalam hendak menjatuhkan hukuman.
Macam jarimah yang ditentukan ancaman pidananya dalam al-quran ialah pembunuhan ,penganinayaan ,pencurian ,perampokan,pemberontakan,zina,dan menuduh zina.Hadis naba saw.kecuali memberikan perincian jarimah-jarimah yang ditunjuk didalam al’quran tujuh macam tersebut,juga menentukan sangsi pidana terhadap dua macam jarimah lainnya,yaitu:minuman keras,dan riddah keluar dari agama islam.

D. Unsur-unsru Jinayah/Jarimah
Adapun aturan hukum maupun unsure-unsur perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah yaitu apabila memenuhi beberapa sarat atau unsure-unsur sebagai berikut:
1. Unsur formal,yaitu adanya nas atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah.unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nas.Alasan harus adanya unsur ini antara lain firman allah dalam QS al isra:15 yang mengajarkan bahwa allah tidak akan menyiksa hambanya sebelum mengutus utusannya.Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran rasul allah harus lebih dulu diketahui adanya ajaran rasul allah yang dituangkan dalam nas.
2. Unsur material,yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan.Hadis nabi riwayat bukhari muslim dari abu hurairah mengajarkan bahwa allah melewatkan hukuman untuk umat nabi muhamad atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati,selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakannya dengan nyata.
3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah.unsur ini menyangkut tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas orang yang telah baliq, sehat akal, dan ikhtiyar(berkebebasan berbuat). dengan kata lain, unsure moral ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukalaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh. Hadis Nabi riwwayat Ibnu Majah dari Abu Dzarr mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman terhadap umat nabi Muhammad karena salah(tidak sengaja), lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.

E. Tinjauan Umum Tentang Asas Legalitas D Menurut Hukum Pidana Islam dan Dasar Hukum
1. Asas Legalitas
Kalangan para ulama’ fiqih, asas legalitas berarti suatu konsekuensi logis dari persyaratan seorang mukallaf (subjek hukum) dan perbuatan mukallaf.
Seperti diketahui bahwa salah satu syarat mukallaf adalah mampu memahami aturan yang mewajibkan dan yang melarang suatu perbuatan. Syarat ini sudah tentu mengharuskan aturan-aturan tersebut ada lebih dahulu untuk bisa dipahami dan dimengerti leh seorang mukallaf.
Sedangkan perbuatan yang diwajibkan atau dilarang itu harus diketahui dengan melalui aturannya agar bisa ditaati dengan cara meninggalkan yang dilarang dan melakukan yang diwajibkan. Hal inipun mengharuskan adanya aturan terlebih dahulu.
Pengertian asas legalitas pada pokoknya menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali ada kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu, artinya adalah tak ada pelanggaran dan tak ada hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya.
Dengan perkataan lain bahwa perbuata seorang yang cakap bertindak tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nash yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut, sehingga ada nash yang melarang.
Dengan demikian dari kaidah tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dipandang sebagai jarimah kecuali ada nash atau ketentuan yang jelas dan melarang perbuatan serta sikap tidak berbuat yang dilakukan oleh orang mukallaf.
2. Dasar Hukum
Berdasarkan syari’at Islam, tujuan berlakunya asas legalitas itu sendiri hampir sama dengan apa yang dikemukakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal ini terjadi karena dalam hukum pidana Islam hukuman memperupakan pendidikan bagi pelanggar dan bukan untuk menganiaya yang bersangkutan.
Dengan asas legalitas inilah, diharapkan setiap umat manusia yang memeluk agama Islam sudah memahami hukuman apa yang akan diterima bagi yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama. Disamping hukuman di dunia, Islam mengajarkan bahwa hukumannya juga akan diterima yang bersangkutan di akhirat nanti setelah meninggal dunia.
3. Konsepsi berlakunya asas legalitas
Syari’at Islam mengenal asas legalitas yang diterapkan pada semua macam jarimah, maksudnya adalah bahwa nas-nas pidana dalam syari’at Islam baru berlaku terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum nas-nas itu diundangkan. Artinya nas-nas tersebut tidak mempunyai kekuatan berlaku surut, dan perbuatan jarimah hanya diterapkan menurut aturan yang berlaku pada saat peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Asas legalitas diterapkan oleh syari’at pada semua jarimah, akan tetapi corak dan cara penerapannya tidak sama, melainkan berbeda-beda, menurut perbedaan macamnya jarimah.

Jarimah Qadzaf
A. Pengertian Jarimah Qadzaf (Menuduh Zina)
Jarimah atau Jinayah menurut Abd. Al-Qadir Awdah adalah “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya”. Jadi jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sedangkan menurut al-Mawardi Jarimah atau Jinayah adalah “Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”.
Para ulama’ dan ahli hukum Muslim awal tidak membedakan antara aspek perundangan, etika dan agama dalam syari’ah, apalagi memilah bidang-bidang hukum tertentu secara terpisah. Akibatnya prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang sesuai dengan apa yang dikenal dalam terminologi modern sebagai hukum pidana, pembuktian dan prosedur, hanya bisa disarikan dari risalah dan fiqh Islam yang umum dan luas.
Qadzaf ialah melemparkan tuduhan zina kepada orang yang baik-baik lagi suci bahwa ia telah berbuat zina.. Yaitu maksudnya qadzaf ialah membuat tuduhan zina yang tidak dibuktikan terhadap seorang Islam yang akil baligh dan dikenali sebagai seorang yang bersih dari perbuatan zina tanpa pembuktian dengan empat orang saksi laki-laki. Qadzaf boleh berlaku dengan membuat kenyataan secara jelas seperti mengatakan seseorang itu telah berzina, atau dengan cara tersirat seperti menyatakan bahwa seseorang itu bukan anak atau bukan bapak kepada seseorang tertentu.
B. Syarat Menetapkan Kesalahan Qadzaf
Qadzaf boleh dijatuhkan dengan syarat membuat suatu kenyataan dengan cara yang nyata seperti menyatakan bahwa seseorang itu telah melakukan zina atau dengan cara tersirat seperti menyatakan bahwa seseorang itu bukan anak atau bukan bapak kepada seseorang tertentu. Kenyataan tersebut dianggap sebagai qadzaf apabila bisa dibuktikan dengan empat orang saksi laki-laki, dan jika kenyataan itu tidak bisa dibuktikan maka orang yang membuat tuduhan itu adalah telah melakukan kesalahan qadzaf. Tetapi sekiranya kenyataan itu dibuktikan, maka orang yang dituduh itu ditetapkan telah berbuat zina.
Suatu kenyataan dianggap tidak terbukti, sekiranya seseorang atau beberapa orang saksi yang berempat itu dipanggil untuk memberi keterangan sebagai pembuktian kenyataan itu, dan mereka enggan atau tidak mau memberikan keterangan itu atau jika mereka memberikan suatu keterangan yang berlainan dengan kenyataan sebenarnya. Dalam keadaan ini penuduh tersebut telah ditetapkan melakukan kesalahan qadzaf dan sah dikenakan had qadzaf atas dirinya.

C. Pembuktian Qadzaf
Kesalahan qadzaf boleh ditetapkan apabila ada salah satu bukti-bukti seperti berikut ini;
1. Penyaksian, yaitu saksi-saksi yang boleh diterima penyaksian uantuk membuktikan ketetapan kesalahan qadzaf haruslah disaksikan oleh saksi-saksi yang layak menjadi dalam perbuatan zina. Untuk membuktikan ketetapan kesalahan qadzaf ialah dengan pengakuan sendiri dari orang yang membuat tuduhan atas seseorang yang melakukan zina dengan sekali pengakuan dalam mahkamah atau majlis kehakiman.
2. Pengakuan, yaitu seseorang yang mengaku bahwa ia telah menuduh orang lain berbuat zina, maka hakim boleh menjatuhkan had qadzaf pada dirinya.
3. Sumpah, yaitu dalam perbuatan qadzaf boleh ditetapkan kesalahan qadzaf dengan sumpah. Jikalau orang yang dituduh tidak mempunyai barang bukti untuk menolak dan menghindar dari tuduhan orang yang menuduh, maka orang yang dituduh itu hendaklah meminta kepada orang yang membuat tuduhan supaya bersumpah atas kebenaran tuduhannya itu.
4. Qarinah (bukti-bukti), yaitu terbagi dua; Bukti yang kuat dan Bukti yang lemah. Bukti yang kuat adalah bukti yang cukup untuk mengharuskan hukuman dilaksanakan.

D. Pelaksanaan Hukuman Qadzaf
Orang yang melakukan kesalahan qadzaf hendaklah dihukum dengan hukuman dera/ dicambuk dengan 80 kali cambukan dan keterangannya sebagai seorang saksi tidak boleh diterima lagi sehingga dia bertaubat atas perbuatannya itu.
Menuduh orang yang baik lagi suci berzina tanpa mendatangkan 4 orang saksi laki-laki yang adil hukumnya adalah haram dan termasuk dalam dosa besar dan wajib dikenakan hukuman had qazaf atau dera.
Kecuali jikalau dia dapat membawa 4 orang saksi yang dapat menetapkan kesalahan orang yang dikatakan berzina tersebut dengan kesalahan zina. Hukuman ini berdasarkan kepentingan kehormatan seseorang dikalangan masyarakat. Ia juga untuk memastikan tidak ada tuduhan zina yang dibuat tanpa ada dasar yang kukuh, karena tuduhan zina itu suatu yang amat memalukan dan akan menyebabkan kehancuran rumah tangga seseorang.
Hukuman hudud bagi qazaf adalah satu ketetapan Allah s.w.t. berdasarkan firmannya dalam surat an-nur ayat 4:
                    
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.
Syarat-syarat sebelum dijatuhkannya hukuman Qadzaf, ialah :

1. Qadzaf (orang yang menuduh), syarat-syaratnya :
a. Berakal
b. Baligh
c. Ikhtiar (tidak dalam keadaan terpaksa)
2. Maqdzuf (orang yang dituduh), syarat-syaratnya :
a. Berakal
b. Baligh
c. Islam
d. Merdeka
e. Belum pernah dan menjauhi tuduhan tersebut
3. Maqdzuf ‘Alaihi (tuduhan), syarat-syaratnya :
a. Sharih (jelas), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan-perkataan yang jelas dan tetap yang tidak boleh ditafsirkankepada maksud yang lain selain daripada zina dan penafian nasab (keturunan).
b. Kinayah (kiasan), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan yang tidak tetap akan tetapi memberi pengertian zina.
c. Ta’ridh (sindiran), yaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan tidak tetap juga dan memberi pengertian yang lain daripada zina sebagaimana yang dilakukan dalam perkataan kinayah.

Jarimah Pembrontakan
A. Pengertian dan Unsur Pembrontakan
Bughah secara harfiah artinya menanggulkan atau melanggar. Dalam istilah hukum Islam yang dimaksud dengan bughah yaitu ushah atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan menggulingkan pemerintah yang sah.
Menurut Ulama Hanafiyah, al-Baghyu diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Ulama Syafi’iyah berkata “Pembrontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi Imam dengan cara tidak mentaati dan melepaskan dirinya dari atau menolak kewajiban dengan memiliki kewajiban, memiliki argumenatasi dan memiliki pemimpin. `
Sementara Mazhab Maliki al-Baghy diartikan sebagai penolakan untuk mentaati Imam yang sah dengan jalan kekuatan. Penolakan untuk taat ini mungkin didasarkan pada penafsiran tertentu, mereka mendefinisikan bughat sebagai satu kelompo orang-orang Islam yang menentang Imam dan wakil-wakilnya.
Sesuatu gerakan anti pemerintah pembrontak dan harus dihukum sebagai mana yang ditetapkan pada ayat di atas dengan catatan sebagai berikut:
a. Pemegang kekuasaan yang sah bersikap adil dalam menetapkan kebijakan.
b. Pembrontakan merupakan satu kelompok yang memiliki kekuatan sehingga pemerintah untuk mengatasi gerakan tersebut harus bekerja jika gerakan tersebut hanya dilakukan segelintir orang yang mudah diatas dan dikontrol tidak termasuk Bugha.
c. Dari gerakan tersebut diperoleh bukti-bukti kuat yang menunjukan sebagai gerakan untuk membrontak guna menggulingkan pemerintahan yang sah. Jika tidak gerakan tersebut dikategorikan sebagai pengacau keamanan atau perampok
d. Gerakan tersebut mempunyai sistem kepemimpinan karena tanpa ada seorang pemimpin tidak mungkin kekuatan akan terwujud.

B. Saksi dan Dasar Hukum Pembrontakan
Ada dua pendapat Ulama mengenai hukuman yang wajib dikenakan atas pembrontakan yaitu sebagian Ulama berpendapat bahwa pembrontak wajib terus diperangi, karena membiarkan kegiatan mereka akan melahirkan kerusakan-kerusakan dan kekacauan yang sukar dibendung,
Sebagai Ulama berpendapat lain bahw pembrontak wajib diperangi. Hal ini telah menjadi Ijma Ulama tetapi sebelum diperangi hendaklah mereka terlebih dahulu diberi nasehat terakhir jika mennghadapi mereka bukan sebagai tujuan, hanya sekedar jalan supaya mereka kembali dijadikan prinsip bagi seorang kepala Negara dalam menghadapi pembrontak.
Dasar hukum
Dasar Hukum yang dijadikan acuan sebagai firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 9:

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Alasan hukum berlakunya sanksi sebagaimana Firman Allah yakni untuk menciptakan sistem kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintahan. Seperti diketahui bahwa manusia membutuhkan teman. Pergauluan antara seorang dengan yang lain semakin lama semakin meluas untuk menjalin antara satu pihak yang lain dengan pihak yang lain diperlukan seorang pemimpin, berikut sistem aturan yang menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik apabila semua pihak mematahi peraturan tersebut. Pembrontakan dalam arti upaya untuk menggulingkan pemerintah yang sah pembrontak sama dengan pengkhianat.
Sedangkan dalam hadits dinyatakan: “barang siapa mendatangimu sedangkan urusanmu berada pada tangan seorang pemimpin untuk mengoyak kekuatan atau memecah belah jamaahmu, maka bunuhlah dia.”

C. Bentuk-bentuk Pembrontakan
Tidak taat kepada pemerintahan yang adil adalah salah satu perbuatan dosa begitu juga membantu penguasa zalim, seseorang atau orang dalam pembrontakannya biasanya terdapat unsur-unsur politik di dalamnya adakalanya ingin merebutkan kekuasaan menggulingkan dan menjatuhkan pemerintahan.
Ada beberapa golongan yang dikatakan sebagai pembrontakan yaitu sebagai berikut:
a. Golongan yang tidak mentaati pemerintah bukan karena salah faham dan sengaja untuk merusakan keamanan dalam negri.
b. Golongan yang membrontak terhadap pemerintah karena salah faham tetapi bilangannya kecil, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa golongan ini juga termasuk pembrontak tanpa melihat sedikit atau banyaknya bilangan. Dengan demikian wajib dikenakan hukum Bughah atas mereka.
c. Golongan yang menentang Kepala Negara yang bertujuan melepaskan jabatannya karena suatu kekelihatan dan mereka mempunyai kekuatan yang memerlukan kekuatan pula untuk menumpas mereka. Termasuk ke dalam Bughah apabila 2 golongan Umat Islam yang berperang karena merebutkan kekuasaan.

D. Pembuktian Pembrontakan
Perkara yang disepakati oleh seluruh Mazhab dalam Islam bahwa tidak harus pemerintah memerangi al-Bughah sebelum diketahui sebab penentangan mereka. Apabila mereka menda’wakan tentang kezaliman dalam penyelewengan pemerintah menghapuskan dulu kezaliman dan penyelewengan itu. Selepas itu barulah pemerintah menyeru dan mereka supaya kembali taat dan mereka wajib kembali taat “selepas kezaliman dan penyelewengan dihapuskan”. Jika mereka enggan maka pemerintah berhak memerangi mereka ini berdasarkan sebab-sebab.
a. Mereka bersenjata dan menentang secara kekerasan sebaliknya hanya mencoba bersuara dan ingin menyatakan kepada rakyat umum tentang pendapat mereka maka itu dikatakan pembrontak.
b. Mereka memberitahukan kepada rakyat seolah-olah pemerintah telah melakukan kesalahan dan penyelewengan.
c. Mereka mengajak rakyat menukar pemerintah secara kekerasan.
Hukuman
1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan,
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa dan sebagainya” atai “ Keputusan yang dijatuhkan Hakim”
Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut:
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.
2. Tujuan Hukuman
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar’radu waz zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-Islah wat Tahdsib). Pengertian pencegahan ialah ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimah atau ia tidak terus menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar tidak memperbuat jarimah sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama.
Dengan demikian maka kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Oleh karena itu tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabil kondisinya demikian maka hukuman terutama Ta’zir dapat berbeda-beda sesuai dengan perdedaan pelakunya.
Tujuan yang kedua perbaikan dan pendidikan adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahan. Di sini dapat dilihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelakunya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena akan hukuman melainkan kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat Ridha Allah SWT.
Disamping kebaikan dan pendidikan dalam syari’at Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai sesama anggotanya dengan mengetahui batas hak dan kewajibannya. Pada hakekatnya suatu jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya. Dengan demikian akan terwujud rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

3. Macam-macam Hukuman
Setelah kami membaca dari beberapa literatur terdapat beberapa penggolongan tentang macam-macam hukuman dapat disimpulkan bahwa macam-macam hukuman dalam Hukum Pidana Islam ialah sebagai berikut:
a. Hukuman Hudud ialah hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud yang telah ditetapkan oleh Allah.
b. Hukuman Qishas dan diat yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diat tetapi hukuman ini adalah Hak manusia.
c. Hukuman Kifarat ialah hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishas dan diat dan beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir.

4. Gabungan Hukuman
Gabungan Hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabuangan jarimah. Gabungan jarimah terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam jarimah, di mana masing-masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan terkahir.
Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh beberapa macam ketentuan. Sedangkan gabungan Jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari pelakunya sehingga masing-masing jarimah dianggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri.
Dalam hukum Pidana Islam teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal oleh para Fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi deang dua teori yang lain yaitu:
1. Teori saling Melengkapi
Menurut teori ini ketika terjadi gabungan perbuatan maka hukuman-hukumannya saling melengkapi (memasuki), sehingga oleh karenanya semua perbuatan tersebut hanya dijatuhi satu hukuman., seperti kalau seseorang melakukan satu jarimah.
2. Teori Penyerapan
Pengertian penyerapan menurut Syari’at Islam adalah cukup untuk menjatuhkan satu hukuman saja, sehingga hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan. Hukuman dalam konteks ini tidak lain adalah hukuman mati, di mana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman yang lain.

5. Syarat-syarat Hukuman
Agar hukuman itu diakui keberadaanya maka harus dipenuhi tiga syarat di antaranya sebagai berikut:
a. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukuman dianggap mempunyai dasar “ Syari’iyah” apabila di dasarkan kepada sumber-sumber syara seperti al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma atau Undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang “Ulil Amri” seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hukuman ditetapkan oleh Ulil Amri maka disyaratakn tidak boleh bertetangan dengan ketentuan syara’.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
b. Hukuman Harus bersifat Pribadi
Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini tidak mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syari’at Islam.
c. Hukuman Harus Bersifat Umum
Hukuman juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi apapun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya didepan hukum semua status sama, tidak perbedaan yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa antara bangsawan dan rakyat jelata.

6. Pengguguran Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan gugurnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan

7. Syubhat
Setelah tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan, maka di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.
Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada antara halal dan haram; yakni yang betul-betul halal dan betul-betul haram. Dia berkata, "Barangsiapa yang menjauhinya,berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang bercampur antara yang halal dan haram."
Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Muttafaq 'Alaih:
"Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus ke dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang ternaknya memakan rumput di sana."
Macam-macam Syubhat dapat diadakan menurut bermacam-macam cara peninjauannya.
1. Syubhat Objektif yaitu yang timbul dari objek jarimah “Syubhat fil mahali” karena adanya sesuatu hukum Syari’at seperti pencurian terhadap harta anak sendiri. Pencurian itu sendiri dilarang oleh nash al-Qur’an dalam surat al-maidah ayat 38. dalam nas hadits yang bahwa Engkau dan hartamu menjadi milik ayahmu” Nas hadits menjadi Syubhat bagi pelaksana nas pertama yaitu al-Qur’an yang larangan mencuri dan hukumannya juga.
2. Syubhat Subjektif yaitu syubhat yang bersumber pada dugaan si pembuat di mana ia dengan itikad yang baik melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang atau tidak mengira bahwa perbuatannya itu dilarang. Seperti orang laki-laki yang bercampur dengan seorang perempuan untuk pertama kali karena dikira istrinya, tetapi ternyata kemudian bahwa perempuan itu bukan istrinya. Perkiraan pada diri si pembuat tersebut menimbulkan syubhat yang bisa menghapuskan hukuman had.
3. Syubhat Yuridis yakni syubhat yang timbul dari perbedaan pendapat para Fuqaha tentang hukum sesuatu perbuatan.

8. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
a. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.
b. Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
c. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut.
Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.
d. Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut.


Percobaan Melakukan Jarimah
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha, bahkan istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan terlihat. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan melakukan melalui hukuman takzir, bagaimanpun juga macamnya jarimah itu. Para Fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syarat tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukuman juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah takzir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah takzir seperti memaki-maki (menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul amri) untuk menentukan mecamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.
Kedua, dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah takzir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman takzir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat . Pencuri misalnya apabila telah melubangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian
Apabila pencurian tersebut dapat berbagai-bagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah maka, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan ‘pencurian’, dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman takzir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur menjadi satu, yaitu pencurian.
Disini jelaslah kepada kita, mengapa para Fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai, dimana jarimah macam kedua hanya dikenakan hukuman takzir. Sungguhpun istilah “percobaan” tidak dikenakan kepada mereka, namun apa yang dimaksud dengan istilah tersebut terdapat pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak selesai.
Pendirian syara’ tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup dari padanya hukum-hukum positif, sebab menurut syara’ setiap perbuatan yang tidak selesai disebut maksiat yang dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya.
Siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan dijatuhi hukuman takzir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah dihukum. Misalnya pada KUHP RPA (Republik Persatuan Arab) hanya percobaan melakukan jarimah “jinayat” dan beberapa jarimah janhah saja yang dikenakan hukuman.
Menurut KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum Sesuai dengan pendirian dengan syara’, maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat kematian, maka perbuatan tersebut termasuk kedalam pembunuhan yang disengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut hanya dapat dihukumi sebagai penganiayaan saja, dengan hukumannya yang khusus. Namun, apabila pembuat membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut maksiat, dan hukumannya adalah takzir.

Fase-Fase Pelaksanaan
Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekali, karena hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi pidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dapat dihukum.
a. Fase Pemikiran dan Perencanaan (Marhalahal Tafkir)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW., sebagai berikut:
ﺇﻦﺍﷲﺗﺟﺎﻮﺯﻷﻣﺗﻰﻋﻤﺎﻭﺴﻭﺴﺕﺃﻮﺤﺩﺛﺖﺒﻪﺃﻨﻔﺴﻬﺎﻣﺎﻠﻡﺘﻌﻣﻝﺒﻪﺃﻭﺘﻜﻟﻣﺕ
Artinya: “Tuhan mema’afkan ummatku dari apa yang dibisikan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.
Aturan tersebut sudah terdapat dalam syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada abad ke-18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum pada masa itu, niatan dan pemikiran dapat dihukum, kalau dapat dibuktikan. Juga, pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.

b. Fase Persiapan (Marhalah Al-Tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli sejata untuk membunuh orang lain dan atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan cara membiusnya. Dalam contoh ini adalah dengan jalam membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri.
c. Fase Pelaksanaan (Marhalah Al Tanfidz)
Pada fase inilah perbuatan pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman takzir, dan selanjutnya dianggap pula percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari, dan membawanya keluar dan sebagainya

.
d. Pendirian Hukum Positip
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (wetboek van strafrecht) (S. 1915-732 jis. S. 1917-497, 645, mb. 1 Januari 1918, s.d.u.t. dg. UU No. 1/1946). Pada Bab ke IV tentang percobaan pasal 53:
1. Percobaan untuk melakukan kejahatan dipidana, bila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri. (KUHP 154 5, 3024, 3515.)
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
3. Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatan yang telah diselesaikan. (KUHP 54, 86 dst., 1845, 3024 , 3515, 3522.)
Pasal 54.
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 60; Inv.Sw. 46.).

Pencobaan Melakukan Jarimah Mustahil
Dikalangan Fuqaha nampak adanya pembahasan tetang percobaan melakukan “jarimah mustahil” yang terkenal dikalangan para sarjana-sarjana hukum positif dengan nama ”ondeug delijk poging” (percobaan tak terkena = ﺍﻠﺸﺭﻮﻉ ﻓﻰﺍﻟﺟﺮﻳﻣﺔ ﺍﻟﻣﺳﺘﺣﻳﻠﺔ, asy-syuru’ fi al jarimah al mustahil), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai melakukannya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal. Atau boleh jadi karena barang atau perkara (voorwerp) yang menjadi objek pembuatnya tidak ada, seperti orang menembak orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, sedang sebenarnya orang tersebut telah meninggal sebelumnya.
Biasanya dibedakan antara “percobaan-tak-terkena-absolut” dengan “percobaan-tak-terkena-relatif” (absolut ondeug delijk poging dengan relatief ondeug delijk poging). Apabila ada seseorang yang hendak meracuni orang lain bukan dengan bahan racun atau dengan bahan racun tetapi sedikit sekali, sehingga tidak menyebabkan matinya korban. Atau pengguran kandungan dengan sengaja terhadap seorang wanita yang sebebenarnya tidak hamil. Dalam kedua contoh tersebut, perbuatan-perbuatan itu disebut, “percobaan-tak-terkena-absolut”. Akan tetapi pada contoh pertama disebut absolut (mustahil) dari alat yang dipakai (midded) maka pada contoh kedua adalah absolut (mustahil) dari segi perkara yang menjadi objek (voorwerp).
Apabila pada peracun sebenarnya racun yang diberikan sudah cukup mencapai dosisnya, akan tetapi orang yang diracun kuat badannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak meninggal, maka perbuatan tersebut disebut “percobaan-tak-terkena-relatif” dari segi alat. Atau seseorang yang mencoba meledakkan gudang alat senjata dengan bom pembakar; akan tetapi kebetulan alat senjata tersebut sedang basah. Perbuatan ini disebut “perbuatan-tak-terkena-relatif” dari segi perkara yang menjadi objek jarimah.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad, Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1991
_______, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1993,
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar Ibnu Al-Khattab, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1991
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1998
-------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1998,
Bardan Nawawi Arif, Perbandingan Hukum Pidana, Penerbit Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1994
C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999
Djoko Prakoso, Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1997
HA. Djazuli, Fiqih Jinaya, Penerbit Grafindo Persada, Jakarta, 1996
J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1995
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1993,
---------------, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1994.
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Penebit Rajawali Press, Jakarta, 1990.
Mukhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Penerbit Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Sarjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1994,
WJS. Poerdaminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, Cet. Ke 1, 1976
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kompilasi Hukum Islam
Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islaam, Penerbit PT aal-Ma’arif, Bandung, 1991.